Kamis, 24 Juni 2010

Bab 7

“Leon, Yuki, ada yang mencari kalian,” panggil Raka. Mereka segera berlari menyusuri tangga lalu menemui Raka di depan panti. “Nenek Hellen,” ucap Leon pelan. Senyum Hellen terkembang.
“Sore ini, udara dingin. Kita makan bersama. Aku yang bayar,” ajaknya. Mereka bertiga berjalan beriringan. Kedai mi rebus, di sanalah langkah ketiganya berhenti. Hellen segera duduk di kursi favoritnya yaitu yang terletak di dekat jendela. Pemandangan di luar memang indah.
“Carter, aku pesan 3. Seperti biasa,” kata Hellen. Carter segera membuat pesanannya.
Senja, bumi mulai berotasi lagi sehingga sang surya kini beralih ke penjuru dunia yang lain, saat dimana langit akan memiliki 3 warna yaitu kuning, jingga, dan merah keunguan. Kursi-kursi kedai kehilangan pelanggannya. Sepi menaungi kedai tersebut.
Carter menghidangkan 3 mangkuk mi rebus lengkap dengan kuahnya. Kini, semua telah siap dengan sumpit melekat di jarinya. “Selamat makan,” ucap ketiganya kompak. Tanpa basa-basi lagi, semua pun segera memakan mi rebus tersebut.
Mi yang lembut dan kuah yang sedap. Ayam yang empuk dan sayur yang segar. Semua ada dalam semangkuk mi rebus yang dibuat dengan penuh dedikasi untuk pelanggan yang dijunjung tinggi sebuah kedai. Dilengkapi dengan segelas teh panas yang siap menghangatkan sore yang dingin ini. Bisa dibayangkan, betapa nikmatnya makanan di sore itu.
Semua habis tak bersisa dalam waktu bersamaan. “Terima kasih, nek,” ucap Leon. “Iya, nek. Terima kasih,” kata Yuki. Semua ditanggapi hanya dengan anggukan dari Hellen.
“Yuki, kau boleh pulang ke panti. Tapi Leon, kau ikut denganku,” kata Hellen. Yuki pun segera pulang, sementara Leon berjalan bersama nenek yang berumur 70 tahun itu. Padi-padi tampak menguning dari kejauhan. Lumpur-lumpur yang menggenang terlihat keruh. Mereka menuju rumah Hellen yang kecil. Rumah Hellen memiliki satu ruangan kamar, kamar mandi kecil, dan dapur yang juga adalah ruang makan. Mereka tidak berbincang di dalam rumah karena di depan rumah sudah ada dua tempat duduk dari kayu.
“Yuki itu pacarmu?”
“Bukan,” jawab Leon singkat.
“Lalu, apa hubungannya denganmu?”
“Partner kerja,” jawaban Leon membuat Hellen terkekeh. “Aku jadi ingat cucuku di kota. Setiap pulang sekolah, ia tidak bisa lepas dari telepon genggamnya. Kalau kutanya dari cewek atau cowok, dari pacar atau teman, pasti dia mengelak. Nah, suatu hari, dia membawa pujaan hatinya ke rumah. “Ngapel” katanya. Nenek langsung tersenyum puas karena sekarang dia tidak mengelak lagi kalau ditanya sama nenek,”.
“Nek, mengapa nenek memilih tinggal di sini?” tanya Leon.
“Entahlah. Desa ini adalah belahan jiwaku mungkin. Aku lebih senang tinggal di sini. Yah, walaupun kadang-kadang aku suka kesepian karena suamiku telah terlebih dahulu meninggalkan aku. Namun, banyak yang dapat kulakukan dan aku tak pernah bosan,” jawab Hellen. “Kau akan pulang besok” katanya lagi. Leon terdiam.
“Besok..” desisnya.
“Iya. Kau, jangan lupakan nenek ya. Hahaha…,” kata Hellen sambil tertawa. “Yuki dan kau adalah pasangan yang cocok dan saling melengkapi. Yuki aktif, namun agak ceroboh. Sedangkan Leon pendiam,” Leon tertunduk.
“Aku sudah terlalu banyak melahap ocehan itu, nek. Semua orang bilangnya juga begitu. Tidak berbeda dan itu membosankan. Kami hanyalah partner kerja. Tidak lebih dan tidak kurang,” ucap Leon dalam hati.

Nah, sekarang kita beralih ke cewek yang aktif ini. Ia sibuk masak buat makan malam :) Hanya masakan yang sederhana karena bahan-bahan yang tidak memadai. Nasi goreng.
Well, Yuki gak begitu ahli dalam memasak. Di rumah, ada pembantu yang siap memasak setiap paginya. Dan di sekolah, sekalipun ada praktek PKK memasak, tetap saja ia tidak mahir dalam bidang tersebut. Kali ini, dia nekat. Bersama Rena, Liu Mei, Miya, dan Nisha, Yuki memasak dengan penuh semangat. Miya yang ahli memasak justru mengajari Yuki teknik memotong, menumis, merebus, bahkan menggoreng. Yuki jadi salah tingkah karena diajari anak yang lebih kecil daripadanya. Yuki jadi menyadari bahwa ia harus mandiri juga. Masa kalah sama anak umur 6 tahun? Lebih parah lagi, ia jadi bahan tertawaan ketika matanya berair saat mengiris bawang merah. Lagi-lagi, Miya mengajarkan bagaimana mengiris bawang merah tanpa harus berurai air mata. Selesai membuat bumbu, mereka menumis bumbu tersebut sampai harum. Lalu, Yuki memasukkan bahan-bahan seperti sosis, daging, telur yang telah diolah sebelumnya. Semua dimasak sampai matang. Nasi pun masuk ke dalam wajan beserta kecap di sisinya. Mmm…Sedap wanginya. Semua tampak tak sabar untuk mencicipi nasi goreng yang lezat itu. Mereka menaruh nasi goreng tersebut di wadah yang cukup besar lalu diletakkan di tengah meja makan. Semua telah duduk manis di sekeliling meja makan.
“Kau boleh kembali. Sampaikan pada Yuki kalau dua hari lagi, ia akan pulang,” kata Hellen. Leon mengangguk. Ia segera meninggalkan nenek yang masih menyimpan senyum itu.
Sesampainya di panti, semua sudah berkumpul di meja makan. Tampaknya mereka menunggu Leon. Segera Leon membasuh tangannya. Lalu bergabung dengan mereka. Peraturan saat makan di sana adalah orang yang lebih tua mengambil makanan terlebih dahulu. Peraturan itu mengharuskan orang menaruh respek kepada yang lebih tua. Sehingga kedelapan anak, beserta Leon dan Yuki, menunggu sampai Raka dan Sheila mencicipi nasi goreng yang telah tersedia.
“Mmm..Lumayan. Yuki, kau jenius,” puji Raka.
“Ah, Miya banyak membantuku,” balas Yuki.
“Kalian sudah boleh ambil. Sini, kak Sheila bantu,” kata Sheila sambil mencedok nasi untuk masing- masing anak. Tanpa disuruh, semua langsung menghabiskan makanannya.

P.S : Bab ini adalah bab paling susah untuk dibuat. Waktu yang kurang, dan deadline yang sempit. Untunglah selesai tepat waktu. Trima kasih buat yang mau menunggu dan membaca. -Priscilla

Kamis, 10 Juni 2010

Bab 6

Pukul setengah 6 pagi. Fajar menyingsing dan kabut pegunungan turun. Suhu perlahan-lahan menurun. Yuki terbangun dari tidurnya. “Hmmph,” gumamnya. “Jam 5,”.
Ia termenung, melihat sekelilingnya. “Haaah…Aku masih di balkon?” tanyanya dalam hati. Ia masuk ke dalam. Semua kamar terkunci dengan rapat kecuali kamarnya. Ia menuruni tangga dan keluar panti. Menapakkan sepatunya di aspal. Dilihatnya para penduduk sekitar bermunculan. “Anak muda, he..masih ingat aku?” tanya seseorang dari kejauhan. Yuki menyipitkan matanya. “Nenek Hellen?!”.
Hellen mengajak Yuki ke suatu tempat. “Karena kau sudah rajin bangun pagi, kuberi hadiah,” katanya. “T—tapi,” Yuki terbata. Hellen menyuruh Yuki untuk diam. Mereka menuju suatu tempat. Beberapa menit kemudian, sebuah panorama alam yang indah terpampang jelas di depan mata mereka. “Air terjun?” Yuki ternganga. “Basuh kaki, tangan, dan mukamu di situ kalau berani,” tantang Hellen. Yuki yang merasa penasaran, menerima tantangan itu. Slush ! Tanpa basa-basi lagi, dia memasukkan kakinya ke air. Kini, kakinya serasa membeku seperti air yang berubah menjadi es di temperature 0 derajat celcius. Yuki menarik kakinya keluar dari air yang barusan membuat ia terkejut. Airnya dingin sekali. Hellen menahan tawanya, memandang Yuki yang tengah sibuk menghentak-hentakkan kakinya. “Aah, nenek,” Yuki ikut tertawa.“Ayo kita balik,” ajak Hellen yang puas mengerjai Yuki.
“Kak Leooooon! Bangun kak,”
Mimpi Leon hilang tiba-tiba. Sebagai gantinya, kini Kenzo berada di hadapannya. “Ah, Kenzo. Jam berapa nih, Ken?” tanya Leon dengan mata setengah mengantuk. “Jam 6, kak,” jawabnya. Leon mengucek matanya, lalu keluar dari kamar. Kamar Yuki yang terbuka membuat Leon ingin tahu dimana Yuki sekarang. Leon melahap sarapannya.
Yuki pulang ke panti ketika semua sudah selesai sarapan. “Kak Yuki…,” panggil Rena. “Ada apa, Rena?” tanya Yuki sambil mencubit pipi Rena. “Kakak kemana aja? Udah makan, Kak?” tanyanya. “Baru aja kakak mau makan,” Yuki melangkahkan kakinya ke ruang makan. Liu Mei menyambutnya hangat di ruang makan. Ia mendorong kursi rodanya ke arah Yuki lalu memberikan sepiring nasi goreng pada Yuki. “Terima kasih,” ucap Yuki sambil tersenyum. Nisha ikut makan bersama Yuki. Cara makannya tidak beraturan sehingga remah-remah nasi berceceran di meja.
Yuki mengambil piring Nisha. Disuruhnya Nisha duduk, lalu secara perlahan ia menyuapi Nisha. Untunglah, Nisha yang penurut, mau makan sampai habis. Sebenarnya ini tugas Sheila. Namun, sampai pagi ini, Sheila belum menampakkan batang hidungnya juga. Sedangkan Raka, ia hanya menyiapkan sarapan, lalu pergi entah kemana. Tapi, kehilangan mereka tidak berlangsung lama. Seperempat jam kemudian, mereka menampakkan lagi wajahnya di panti. Ekspresi mereka khawatir akan anak-anak panti. Namun, mereka bernafas lega tatkala melihat semua sudah sarapan.
Tengah hari, Leon dan Yuki menemui Sheila di ruangannya. Pamit pulang. Sheila tersenyum. “Sebenarnya, kalian gak perlu jalan,” ujarnya. Leon heran. “Maksud kakak?”.
“Dari kemarin, saya dan nenek Hellen udah mengirim surat ke kota, tentang kabar kalian dan denah panti ini. Kami pakai alamat yang ada di kartu nama Leon yang terjatuh. Kami pun sudah dapat balasannya, kalian akan tinggal di sini sampai mereka menjemput kalian,” jawab Sheila.
“Kak Sheila tahu kapan kita dijemput?” tanya Yuki. Sheila mengangguk. “Tentu. Saya akan kabarkan kalian malam sebelumnya,”. Kini, hanya ada satu pertanyaan dalam benak Leon. Mengapa Leon malah disuruh tinggal di sini padahal Pak Sais bisa menjemput Leon hari ini juga?
“Kak Leon…Ke sini, deh,” suara seseorang terdengar dari depan panti. “Kenzo,” gumam Leon. “Kak, aku menemani Kenzo dulu. Terima kasih. Permisi,” setelah berbicara seperti itu, Leon keluar dari ruangan Sheila. Yuki memilih untuk mengikuti Leon. Ternyata, kedelapan anak sudah berkumpul di depan panti.
“Kak Yuki ikut?” Rena memiringkan kepalanya sambil menatap Yuki. Yuki mengangguk. “Semuanyaa, kita akan berpetualang. Ayo berbaris!” kata Wins lantang. Dua banjar laki-laki dan perempuan terbentuk. Leon dan Yuki memilih tempat di belakang. Abi dan Miya memimpin barisan. Mereka memegang kertas yang berisi “rute perjalanan”.
“Majuu,” seru Abi. “Ok, kapten,” sahut anak-anak lain. Mereka pun memulai perjalanan mereka. Yuki mendorong kursi roda Liu Mei.
“Kita sampai di rumah seorang yang lembut dan baik. Nenek Hellen,” kata Abi. Hellen keluar dari rumahnya. “Oih…Anak panti dan 2 orang muda. Mau mampir?” Nenek Hellen menyambut jejeran pasukan cilik tersebut dengan senyuman. “Tidak, nenek. Kami akan melanjutkan petualangan kami ke tempat lain. Terima kasih, nenek baik…,” ucap Miya.
Target selanjutnya, kedai mi rebus. Seorang bernama Carter keluar. Ia adalah pemilik kedai yang berumur 30 tahun. “Mau mi apa?” tanyanya. “Kita tidak mau makan. Kita mau berpetualang ke tempat yang lain,” jawab Lyner. “Dadah..Pak Carter,” Wins melambaikan tangannya.
Sudah beberapa tempat mereka lalui. Sampailah di sungai. Kenzo menoleh ke arah Leon sambil mengedipkan mata kanannya. Leon mengangkat jempolnya. Semua pun menceburkan dirinya ke sungai kecuali Liu Mei dan Yuki. Mereka hanya di tepi sungai sambil menatap teman-teman lain yang kini bermain di sungai. Baju mereka kuyup sekali.
Di tengah asyiknya suasana itu, tiba-tiba langit menggelap dan…titik titik air menjatuhkan dirinya ke bumi. Semua segera berlari pulang.
Hujan yang agresif, kini mengganas. Sampai di panti, semua langsung melarikan diri ke kamar mandi. Selesai membersihkan diri, hujan perlahan menghentikan produksi airnya. Sebagai gantinya, sebuah pelangi hadir. Di balkon panti, semua berkumpul dan menyaksikan keindahan langit saat itu. Kagum, senang, dan bahagia.

Selasa, 01 Juni 2010

Bab 5

Leon menolak secara halus. “Maaf, ya…Kakak harus ngomong sama Kak Sheila dulu,”. Kenzo terlihat kecewa. Leon tidak tega melihatnya. “Kenzo tunggu sebentar ya..,”
Leon masuk ruangan Sheila. “Maaf, kak. Aku harus ngomong sesuatu,”. “Apa?” tanya Sheila. “Sebenarnya, aku sama Yuki…,”. Leon menuturkan kejadian yang menimpanya dengan Yuki. Sheila tertegun. “Jadi, sebenarnya…kami hanya ingin tahu jalan untuk ke kota,” Leon mengakhiri ceritanya.
“Ada jalannya. Namun perjalanan akan memakan waktu berjam-jam jika kalian berjalan kaki seperti itu. Sedangkan ini sudah pukul 4 sore,” jawab Sheila. Tatapan matanya serius. “Baiklah, kami akan menginap di sini dan melanjutkan perjalanan esok hari,” kata Leon. Sheila pun membuka suara, “Sebenarnya aku sudah berpikir, akan berguna jika kami punya telepon. Terutama untuk kasus ini. Namun pemerintah baru membangun jalur listrik sementara jalur telepon belum ada. Bahkan sinyal pun tidak bisa sampai,”. Leon memaklumi itu. Memang desa tersebut agak terpencil.
Kenzo menyambut Leon di luar. “Ayo, kak,” katanya. Leon mengikuti Kenzo. Jalan-jalan, pematang-pematang sawah, dan rerumputan ia lewati bersama Kenzo. Di tengah jalan, Leon teringat sesuatu. “He, kita harus ajak kak Yuki, ingat?”. “Gak ah..Aku pinginnya sama kak Leon aja,” katanya. Leon terdiam.
Jalan, pematang sawah, rerumputan mereka lewati. Sungai berair dingin akhirnya mereka temui. Kenzo duduk lalu mencelupkan kakinya. “Ah..Segar !”katanya girang. Leon ikut melepas sepatu dan mencelupkan kakinya. Aliran sungai yang dingin berdesir perlahan di kakinya menunjukkan arusnya pelan. Air sungai itu bening. Batu di dasar sungai terlihat dengan jelas. Jauh berbeda dengan sungai di daerah perkotaan yang keruh. Leon dan Kenzo berbincang-bincang, membicarakan soal panti asuhan.
Kenzo, Li Mei, Rena, Miya, Lyner, Abi, Nisha, dan Wins adalah anak-anak panti yang tidak pernah menyesal tinggal di dalam panti. Mereka berjuang walau umurnya masih belia. Karena itu, setiap anak selalu ditanamkan sifat yang baik oleh Sheila dan Raka. Mencuci piring sehabis makan, merapikan tempat tidur saat bangun pagi, dan hal-hal ringan lainnya adalah kegiatan wajib. “Ken, udah jam setengah 6. Kita pulang yuk,” ajak Leon. Kenzo mengiyakan lalu berlari pulang dengan cepat. Leon mengejarnya dari belakang. Mereka berlari dengan riang. Leon pikir, inilah perasaan kalau aku punya adik laki-laki, bermain, berlari, dan melakukan hal-hal seru lainnya. Ia jadi teringat akan Keiko. “Kak, aku kangen kakak,” katanya dalam hati.
Kita beralih dulu ke cewek cantik yang berambut pendek ini—Yuki. Ia sedang akrab dengan Rena yang mengajaknya bermain di kebun teh bersama anak perempuan lain. Yuki mendorong kursi roda Liu Mei pelan menyusuri kebun teh yang luas. Liu Mei yang berdarah Cina dan bermata sipit, telah mengidap polio sejak masih kecil. Mungkin, itulah alasan orangtuanya menaruh bayi Liu Mei di depan panti untuk diasuh dan dibesarkan. Yuki berjalan lagi mengikuti Rena. Matanya tertumbuk pada seorang anak. Nisha. Anak yang mengalami kekurangan mental yang membuatnya tidak bisa mendengar dan berbicara dengan jelas. Yuki merasakan suatu perasaan. Entahlah, itu sedih, terharu, atau menyesal. Semua berpadu menjadi satu. Hatinya terenyuh.
“Kak Yuki,” Rena memanggil Yuki. Yuki menghampiri Rena. “Ada apa, Ren?”. Rena mengajak Yuki pulang. Katanya ia ingin main di panti saja. Mereka pun berjalan pulang.
Hawa dingin menyelimuti malam itu. Pukul 9 malam, semua sudah terlelap termasuk Sheila dan Raka. Leon tidak bisa tidur malam itu. Ia beranjak ke balkon dan duduk menghadap jutaan bintang yang bertaburan di langit malam. Kaus biru dan celana selutut dikenakannya. Biasanya, saat itu, ia sedang menonton TV bersama Keiko dan mama. Namun kini, semuanya berbeda. Ia tidak di rumah dan yang dilakukannya sekarang hanya menunggu bintang jatuh agar ia dapat menyampaikan permohonannya yaitu pulang ke rumah dengan selamat.
Seseorang datang dan duduk tepat di sebelahnya. Yuki. “Aku tak bisa tidur,” katanya sambil mengacak rambut lurusnya yang panjangnya hanya sedagu. “Besok, kita harus pulang,”.
“Aku kangen rumah,” kata Leon. Ia menghela nafas panjang lalu berkata lagi, “Aku juga tak bisa tidur,”. Yuki menceritakan pengalamannya dengan Rena dan kawan-kawan lainnya. Leon mendengarkan dengan antusias. “Rena, Miya, Liu Mei, dan Nisha. Mereka tidak pantas di sini,” kata Yuki mengakhiri ceritanya.
“Kenzo sudah kuanggap sebagai adik sendiri,” ujar Leon. “Ia mengajakku ke sungai, bermain bersama Lyner, Abi, dan Wins, dan berbincang-bincang layaknya adik sungguhan,”.
Keduanya kini memandang langit. Jam menunjukkan pukul 10. Tapi mata mereka masih seringan kapas, tidak ada rasa ngantuk.

“Yuki,” sapa bintang. “Kamu belum tidur?”
“Belum,” jawab Yuki. “Aku belum ngantuk,”
“Tidurlah, Yuki. Besok kau mau pulang, kan?”. Yuki mengangguk. “Leon sudah tertidur,” kata bintang. Yuki melihat sebelahnya. Tidak ada orang. “Dia…Sudah tidur?” tanya Yuki. Bintang mengiyakan. “Nah, sudahlah…Aku akan menerangi malam mu yang kelam. Tidurlah dan aku akan menemanimu diantara dinginnya malam ini,”.

Yuki pun terlelap dan siap untuk menyambut matahari yang akan terbit esok pagi.