Rabu, 08 Juni 2011

Sekuel :]

Hi there! It's me Cilla. Long time no see. Anyway, i'm not planning about "sekuel" but i wrote a story about Leon's brother, Keiko.
Just wait and see.
Gomawoyo :]

-Cilla-

Sabtu, 24 Juli 2010

This is "me" speaking"

Hi.. :)
It's me, Leon.
I like my part in this story. Actually, I want to pick up some fight with the writter 'coz she's planning something with me at the end. She said to me, "Napa sih Leon sama Yuki gak berdua aja?"
Huh, you know what 'that' mean, right?
But, this ending is great. I love it. Meet you again next time.

Warm regards,
Leon.


Hi Guys :D
Yuki's here. Gaaah... Leon's totally wrong. I'm so happy when Cilla said that me and Leon will be together :)
Leon is perfect boy in 9-3 and many girls want to date with him.
Wkwk.. But, I really like the ending :)

Kamsahamnida,
Yuki


Hi all... Thanks for the reader :) Cilla's speaking here.
Just wanna say... I'm freeeee now! Yeah!
I love it :)
Leon, Yuki, all, I hope we can meet again. Thanks to all of you guys :)

Gomawoyo,
Priscilla

Epilog

Phew, aku dibebaskan dari tugas mengarang. Itu semua karena teman-temanku yang paling baik di 9-3… Aku terharu sekali sampai air mataku rasanya ingin keluar. Makasih juga buat wali kelasku yang paling baik, Miss Chelia, karena memberanikan dirinya menghadap Sir Adam. Ilysm, guys.. :) Akhir semester 1 ini, 9-3 diwarnai dengan kekompakan. Semoga saja dapat bertahan sampai semester 2.
Namaku Miyawaki Tooru, biasanya dipanggil Yuki. Aku bersekolah di Anzu kelas 9-3. Umurku 14 tahun. Kedudukanku adalah wakil ketua kelas. Aku benci dengan hal mistis, dan sejenisnya.
Yuuya adalah kakak laki-lakiku yang paling baik sedunia. Orangnya pendiam banget. Pintar juga, jadi bisa ngajarin aku.
Aku suka nyanyi, nari hip hop, dan makan karena tinggiku 168 cm dan beratku cuma 47 kg. Aku pingin tinggi, tapi gak bisa main basket. Cuma kak Yuuya yang bisa. Hiks…
Aku orangnya aktif, periang, dan…banyak omong. Pintar sih…lumayan lah. Rapot gak ada yang merah, gak pernah tinggal kelas. Haha…

Rival : Leon. Keren, Pinter, Tajir. Ok banget deh. Siapa sih yang gak mau sama Leon? (eaa :)
Orangnya pendiam, tapi enak kalo diajak ngobrol. Tapi maap ya, aku gak tertarik buat hal-hal begituan. Pingin deh sekali-kali ngalahin tu orang tapi susaaah banget. Tapi aku harus ters berjuang. Gambatte !!! :)

Jumat, 23 Juli 2010

Bab 9

Leon menemui Pak Sais yang berada di halaman panti. “Lei, ayo cepat, masukkan barang-barangmu,”. Leon mengangguk dan segera melakukannya. Yuki pun memasukkan ranselnya ke bagasi mobil Alphard itu.
Lalu, mereka menemui Sheila. “Kak, kami pulang dulu ya,” kata Yuki. Sheila mengangguk. “Hati-hati ya,” katanya lagi.
“Ken, kakak pergi dulu ya…,” kata Leon pada Kenzo. “Jadi anak yang baik yah,” lanjutnya. Kenzo mengacungkan jempolnya.

Setengah jam telah berlalu setelah mereka meninggalkan panti asuhan. Pak Sais mengatakan bahwa perjalanan akan memakan waktu cukup lama. Macet, katanya. Kini mobil masih melaju di jalan yang agak sempit. Yuki memejamkan matanya lalu menyandarkan kepalanya ke pintu mobil.
Macet melanda jalan tol siang itu. Mobil mereka berjalan sedikit demi sedikit. Pak Sais mengambil jalur tengah. Satu jam lewat, dan mereka baru menempuh jarak sekitar 500 meter. Supir pribadi keluarga Leon tersebut menghela nafas, mengira-ngira waktu yang mereka perlukan untuk sampai di rumah.
Namun, terjadilah suatu insiden. Mobil yang berada tepat di depan mereka, berhenti dengan alasan mati mesin. Pak Sais mecoba berpindah jalur. Sulit memang, karena dalam kondisi macet. Perlahan lahan dan akhirnya mereka bisa berpindah jalur. Leon menarik nafas lega.

Jam satu siang, mereka telah berada di depan komplek Gria Asri. Yuki menyiapkan tasnya.
“Rumahmu yang mana?” tanya Leon.
“Mm.. Belok kanan terus lurus. Nanti belok kanan lagi,” jawab Yuki. Rumah berlantai dua, tipe minimalis milik Yuki kini terpampang di depan mata.
“Thank You..,” kata Yuki sambil keluar. Leon tersenyum. Yuki segera memasuki rumahnya itu. Melepas sepatunya dan meletakkan tas ranselnya di lantai.
“Mamaaaa…Aku capek…,”

“Sais, kamu kemana? Leon ada dimana?” tanya mama panjang lebar.
“Mmm…,” Pak Sais menggumam. Leon memberinya tanda untuk tidak memberitahukan hali itu. “Macet di jalan. Jadi lama. Leon tidak begitu jauh kok,”
“Lei, kamu istirahat yah. Besok kamu kan sekolah. Udah, biar Pak Sais aja yang beresin bawaan kamu,” kata mama. Leon melirik Pak Sais. Pak Sais hanya mengangguk pelan.
“Gak usah, Pak… Aku yang beresin yah,” kata Leon pada akhirnya.

“Prince Leon is back…,”
“Princess Yuki is back, too..,” oceh-ocehan teman satu kelas mereka terdengar pagi itu. Leon yang baru memasuki kelas, langsung disambut Xander dengan tangan yang siap ber-toss.
“Leon… Akhirnya balik juga kau,” kata Xander sambil menepuk pundak Leon.
“Yukiiii chaaaan,” Aya berlari kearah Yuki yang masih berdiri di pintu lalu memeluk Yuki. “I miss you so much, my best friend… :)”. Mereka berdua cuma bisa diam. Entahlah, kata-kata apa yang harus mereka ucapkan.

“Leon, Yuki, terima kasih telah kembali ke sini,” kata Miss Chelia. “Tapi, karena kalian gak mengikuti camping sepenuhnya, maaf ya, Miss harus kasih kalian tugas mengarang satu lembar aja. Dikumpulin besok ke Sir Adam,”. Leon dan Yuki mengangguk.
“Miss,” panggil Xander. “Maaf miss. Menurut saya, mereka tidak pantas diberi tugas,”
“Saya setuju, Miss. Mereka kan tidak berniat untuk malas atau tidak mau mengikuti camping,” lanjut Aya. Rezie malah ikut-ikutan, Sasha juga.
“Haa… Kalian memang…kelas yang….,” kata-kata Miss Chelia terhenti. “Membela dua pemimpin kalian yang sebenarnya tak ada hubungan dengan kalian,”
“Miss, kita saling berhubungan. Mereka adalah pemimpin kelas kami yang paling baik,” bela Sasha. “Kita kan satu kelas,” lanjut Aya.

Tebak, apa yang terjadi selanjutnya.
Leon dan Yuki dibebaskan dari tugas.

“Makasih ya, semua,” ucap Leon pelan.
“M-makasih banyak yah,” Yuki sampai terbata-bata.

“Kita kan satu kelas. Harus solid, kompak, dan saling membantu dalam hal positif pastinya,”.

Sabtu, 10 Juli 2010

Bab 8

“Kak Leon, sini deh. Bantuin aku,” suara Kenzo terdengar dari sudut dapur. Piring-piring makanan yang kotor, tersusun di depan Leon. “Cuci piring, kak,” lanjut Kenzo. Mereka pun melakukan apa yang harus dilakukan. Sebelumnya, Leon sangat jarang mencuci piring. Biasanya ada pembantu di rumah. Tapi kini, demi membantu kawan kecilnya, Leon pun mengerjakan hal itu. Tak lama, kerjaan itu pun beres. Masih pukul 8 malam dan uniknya, aktivitas saat itu adalah cerita sebelum tidur di sebuah ruangan yang mereka sebut ruangan belajar. Ada sebuah meja bulat di tengah, namun tidak ada kursi di sana karena semua duduk di lantai. Hari itu adalah cerita tentang Cinderela. Suara Sheila yang lembut membacakan cerita dengan ekspresif dan intonasi yang membuat anak-anak menjadi tidak bosan.
“Cinderela pun sedih karena tidak bisa pergi ke pesta. Ia menangis. Namun seorang peri yang baik hati, datang dan berkata pada Cinderela, ‘Bangunlah, Cinderela. Ambilkan aku 4 ekor tikus, seekor kucing, dan sebuah labu,’. Cinderela pun melakukannya. Dan…Cring… Sang peri mengubah tikus menjadi kuda, kucing menjadi kusir, dan labu menjadi kereta yang idah sekali. Cinderela pun kini mengenakan gaun yang sangat indah…,”
Cerita yang berakhir dalam waktu 20 menit itu membuat beberapa anak tergugah. Di akhir cerita ada sesi tanya jawab. Setelah itu, semua pun beranjak ke kamar tidur masing- masing. Sheila memanggil Leon dan Yuki. “Ralat dari nenek Hellen, kalian akan berangkat besok. Bukan lusa. Itu saja. Selamat tidur,”. Sheila berlalu begitu saja. Kini, yang tersisa hanyalah mereka.
“Haaah. Akhirnya, aku bisa bertemu teman-teman,” kata Yuki. “Tapi kenapa sih, situasinya harus begini. Misalnya, seharusnya kita jalan kaki dari kemarin, tapi mereka bilang bahwa mereka telah mengirim surat ke alamatmu. Eh, sekarang, katanya dua hari lagi, ternyata besok,”. Leon terdiam, diam sekali. Yuki menatap Leon lalu ia menyadari perubahan air muka Leon.
“Aku tahu,” kata Yuki. “Kita akan meninggalkan mereka kan?”.
“Ya,” suara Leon terdengar pelan sekali.
“Tenang ... Kita bisa mengunjungi mereka sekali waktu. Untuk besok, berikan saja mereka sesuatu. Aku…juga sama sepertimu. Aku akan merindukan Kenzo, Rena, dan semuanya,” jawab Yuki. Kini, muka Leon terlihat lebih baik. Ia mengangguk lalu berkata, “Baiklah,”.
Sesuatu terjadi. Sedetik kemudian, gelap menyelimuti panti. Mati lampu. “Geez,” Yuki berdiri. Ia meraba dinding ruangan, mencari pintu. Setelah itu, ia membuka pintu namun di luar gelap juga. Sigh. Yuki teringat akan senter yang ada di dapur. Ia dan Leon pun berjalan menuju dapur walaupun sulit sekali karena semua tidak dapat terlihat jelas. Perlahan, ada seberkas cahaya. Cahaya lilin. Leon dan Yuki mendekatinya.
Kaki Yuki gemetar. Langkahnya terhenti sejenak. Pertama, Yuki tidak suka hal berbau mistis. Kedua, ia tidak punya keberanian yang cukup untuk itu. Ketiga, ia tidak yakin apa yang dilihatnya itu. Yuki menutup mata rapat-rapat.
Leon menggenggam tangan Yuki. “Itu…bukan apa-apa,” kata Leon. Sepertinya Yuki butuh waktu lama untuk mencerna kata-kata Leon. Tapi ternyata tidak juga. Lampu kembali menyala.
“K-kak Sheila?!” Yuki memastikan apa yang dilihatnya kini benar. Sheila menoleh. “Kalian belum tidur?”.
Yuki menggeleng. Rasanya, ia ingin segera pergi tidur secepatnya. “Ya…kalau begitu, aku tidur dulu ya, kak,”. Ia segera berlari ke atas. Menuju alas tidurnya dan langsung merebahkan dirinya.
***
“Aku adalah rivalmu, Leon,”
“Rival?”
Ia menebaskan pedangnya ke arah Leon. Leon menghindar. Ia tidak mungkin melawan perempuan. “Siapa kau sebenarnya?”. Leon berusaha menghindar namun tebasan pedang membuatnya terjatuh. Perlahan ia membuka matanya. Seorang perempuan lain.
“Ia yang didekatmu, ia yang selalu ceria dan bersemangat. Percayalah padanya,” kata perempuan itu sambil pergi. Sebagai gantinya, sebuah tangan terulur padanya. “Kau adalah rivalku. Bangunlah,”
“Siapa kau?” tanya Leon.
“Apa itu penting?” tanyanya balik.
“Menurutku iya,”
“Aku adalah rivalmu. Sudah jelas,” jawabnya.
“Apa maksudmu dengan ‘rival’? Kita baru bertemu dan kau telah mengatakan itu,”
“Memang benar begitu, bukan?” Ia menyarungkan pedangnya. “Pulanglah,” katanya lagi.
***
Pagi itu, Yuki mengemas barangnya. Lalu membawanya ke bawah. Ini masih jam enam pagi, kata Sheila, mereka harus menunggu karena ia belum tahu pasti kapan mereka dijemput.
“Lei, mukamu kusut. Padahal, kita mau ngajak anak-anak jalan,” tegur Yuki. “Ada apa? Gak sanggup melepas …,”
“Bukan,” potong Leon. “Tadi malam, aku memimpikan sesuatu. Itu saja,”.
“Yah, cuma mimpi,”.
Kenzo berlari ke arah Leon. Ia melirik tas dan bawaan Leon.
“Kak Leon mau kemana?” tanyanya.
“Kakak mau pulang,” jawab Leon.
“Pulang?” Kenzo menatap Leon penasaran. Leon mengelus kepala Kenzo. “Iya, Ken,”. Kenzo memegang tas ransel Leon. Leon mengambil sesuatu dari tasnya. Pulpen. Tapi bukan pulpen biasa. Ada senter kecil di tutup pulpennya. Ia menyodorkannya pada Kenzo.
“Buat Kenzo,” kata Leon. Kenzo menggenggam benda sepanjang 15 cm itu.
“Kak Leon, kakak akan balik lagi kan?” tanya Leon penuh harap. Leon mengangguk.
Sementara itu, Yuki yang tengah sarapan, juga bicara dengan Rena. “Rena, jangan bikin susah Kak Sheila ya,”
“Kak Yuki mau pulang?” tanya Rena.
“Iya,” jawab Yuki singkat. “Nih buat Rena,”. Yuki memberikan pembatas buku. Yah, semua itu adalah yang terbaik dari tas mereka. Ini semua kan berawal dari camping. Sehingga, kemungkinan untuk membawa barang-barang yang tidak berkaitan dengan camping sangat minim.
Sekitar setengah jam kemudian, terdengar suara deru mobil di luar.
“Pak Sais!”

Kamis, 24 Juni 2010

Bab 7

“Leon, Yuki, ada yang mencari kalian,” panggil Raka. Mereka segera berlari menyusuri tangga lalu menemui Raka di depan panti. “Nenek Hellen,” ucap Leon pelan. Senyum Hellen terkembang.
“Sore ini, udara dingin. Kita makan bersama. Aku yang bayar,” ajaknya. Mereka bertiga berjalan beriringan. Kedai mi rebus, di sanalah langkah ketiganya berhenti. Hellen segera duduk di kursi favoritnya yaitu yang terletak di dekat jendela. Pemandangan di luar memang indah.
“Carter, aku pesan 3. Seperti biasa,” kata Hellen. Carter segera membuat pesanannya.
Senja, bumi mulai berotasi lagi sehingga sang surya kini beralih ke penjuru dunia yang lain, saat dimana langit akan memiliki 3 warna yaitu kuning, jingga, dan merah keunguan. Kursi-kursi kedai kehilangan pelanggannya. Sepi menaungi kedai tersebut.
Carter menghidangkan 3 mangkuk mi rebus lengkap dengan kuahnya. Kini, semua telah siap dengan sumpit melekat di jarinya. “Selamat makan,” ucap ketiganya kompak. Tanpa basa-basi lagi, semua pun segera memakan mi rebus tersebut.
Mi yang lembut dan kuah yang sedap. Ayam yang empuk dan sayur yang segar. Semua ada dalam semangkuk mi rebus yang dibuat dengan penuh dedikasi untuk pelanggan yang dijunjung tinggi sebuah kedai. Dilengkapi dengan segelas teh panas yang siap menghangatkan sore yang dingin ini. Bisa dibayangkan, betapa nikmatnya makanan di sore itu.
Semua habis tak bersisa dalam waktu bersamaan. “Terima kasih, nek,” ucap Leon. “Iya, nek. Terima kasih,” kata Yuki. Semua ditanggapi hanya dengan anggukan dari Hellen.
“Yuki, kau boleh pulang ke panti. Tapi Leon, kau ikut denganku,” kata Hellen. Yuki pun segera pulang, sementara Leon berjalan bersama nenek yang berumur 70 tahun itu. Padi-padi tampak menguning dari kejauhan. Lumpur-lumpur yang menggenang terlihat keruh. Mereka menuju rumah Hellen yang kecil. Rumah Hellen memiliki satu ruangan kamar, kamar mandi kecil, dan dapur yang juga adalah ruang makan. Mereka tidak berbincang di dalam rumah karena di depan rumah sudah ada dua tempat duduk dari kayu.
“Yuki itu pacarmu?”
“Bukan,” jawab Leon singkat.
“Lalu, apa hubungannya denganmu?”
“Partner kerja,” jawaban Leon membuat Hellen terkekeh. “Aku jadi ingat cucuku di kota. Setiap pulang sekolah, ia tidak bisa lepas dari telepon genggamnya. Kalau kutanya dari cewek atau cowok, dari pacar atau teman, pasti dia mengelak. Nah, suatu hari, dia membawa pujaan hatinya ke rumah. “Ngapel” katanya. Nenek langsung tersenyum puas karena sekarang dia tidak mengelak lagi kalau ditanya sama nenek,”.
“Nek, mengapa nenek memilih tinggal di sini?” tanya Leon.
“Entahlah. Desa ini adalah belahan jiwaku mungkin. Aku lebih senang tinggal di sini. Yah, walaupun kadang-kadang aku suka kesepian karena suamiku telah terlebih dahulu meninggalkan aku. Namun, banyak yang dapat kulakukan dan aku tak pernah bosan,” jawab Hellen. “Kau akan pulang besok” katanya lagi. Leon terdiam.
“Besok..” desisnya.
“Iya. Kau, jangan lupakan nenek ya. Hahaha…,” kata Hellen sambil tertawa. “Yuki dan kau adalah pasangan yang cocok dan saling melengkapi. Yuki aktif, namun agak ceroboh. Sedangkan Leon pendiam,” Leon tertunduk.
“Aku sudah terlalu banyak melahap ocehan itu, nek. Semua orang bilangnya juga begitu. Tidak berbeda dan itu membosankan. Kami hanyalah partner kerja. Tidak lebih dan tidak kurang,” ucap Leon dalam hati.

Nah, sekarang kita beralih ke cewek yang aktif ini. Ia sibuk masak buat makan malam :) Hanya masakan yang sederhana karena bahan-bahan yang tidak memadai. Nasi goreng.
Well, Yuki gak begitu ahli dalam memasak. Di rumah, ada pembantu yang siap memasak setiap paginya. Dan di sekolah, sekalipun ada praktek PKK memasak, tetap saja ia tidak mahir dalam bidang tersebut. Kali ini, dia nekat. Bersama Rena, Liu Mei, Miya, dan Nisha, Yuki memasak dengan penuh semangat. Miya yang ahli memasak justru mengajari Yuki teknik memotong, menumis, merebus, bahkan menggoreng. Yuki jadi salah tingkah karena diajari anak yang lebih kecil daripadanya. Yuki jadi menyadari bahwa ia harus mandiri juga. Masa kalah sama anak umur 6 tahun? Lebih parah lagi, ia jadi bahan tertawaan ketika matanya berair saat mengiris bawang merah. Lagi-lagi, Miya mengajarkan bagaimana mengiris bawang merah tanpa harus berurai air mata. Selesai membuat bumbu, mereka menumis bumbu tersebut sampai harum. Lalu, Yuki memasukkan bahan-bahan seperti sosis, daging, telur yang telah diolah sebelumnya. Semua dimasak sampai matang. Nasi pun masuk ke dalam wajan beserta kecap di sisinya. Mmm…Sedap wanginya. Semua tampak tak sabar untuk mencicipi nasi goreng yang lezat itu. Mereka menaruh nasi goreng tersebut di wadah yang cukup besar lalu diletakkan di tengah meja makan. Semua telah duduk manis di sekeliling meja makan.
“Kau boleh kembali. Sampaikan pada Yuki kalau dua hari lagi, ia akan pulang,” kata Hellen. Leon mengangguk. Ia segera meninggalkan nenek yang masih menyimpan senyum itu.
Sesampainya di panti, semua sudah berkumpul di meja makan. Tampaknya mereka menunggu Leon. Segera Leon membasuh tangannya. Lalu bergabung dengan mereka. Peraturan saat makan di sana adalah orang yang lebih tua mengambil makanan terlebih dahulu. Peraturan itu mengharuskan orang menaruh respek kepada yang lebih tua. Sehingga kedelapan anak, beserta Leon dan Yuki, menunggu sampai Raka dan Sheila mencicipi nasi goreng yang telah tersedia.
“Mmm..Lumayan. Yuki, kau jenius,” puji Raka.
“Ah, Miya banyak membantuku,” balas Yuki.
“Kalian sudah boleh ambil. Sini, kak Sheila bantu,” kata Sheila sambil mencedok nasi untuk masing- masing anak. Tanpa disuruh, semua langsung menghabiskan makanannya.

P.S : Bab ini adalah bab paling susah untuk dibuat. Waktu yang kurang, dan deadline yang sempit. Untunglah selesai tepat waktu. Trima kasih buat yang mau menunggu dan membaca. -Priscilla

Kamis, 10 Juni 2010

Bab 6

Pukul setengah 6 pagi. Fajar menyingsing dan kabut pegunungan turun. Suhu perlahan-lahan menurun. Yuki terbangun dari tidurnya. “Hmmph,” gumamnya. “Jam 5,”.
Ia termenung, melihat sekelilingnya. “Haaah…Aku masih di balkon?” tanyanya dalam hati. Ia masuk ke dalam. Semua kamar terkunci dengan rapat kecuali kamarnya. Ia menuruni tangga dan keluar panti. Menapakkan sepatunya di aspal. Dilihatnya para penduduk sekitar bermunculan. “Anak muda, he..masih ingat aku?” tanya seseorang dari kejauhan. Yuki menyipitkan matanya. “Nenek Hellen?!”.
Hellen mengajak Yuki ke suatu tempat. “Karena kau sudah rajin bangun pagi, kuberi hadiah,” katanya. “T—tapi,” Yuki terbata. Hellen menyuruh Yuki untuk diam. Mereka menuju suatu tempat. Beberapa menit kemudian, sebuah panorama alam yang indah terpampang jelas di depan mata mereka. “Air terjun?” Yuki ternganga. “Basuh kaki, tangan, dan mukamu di situ kalau berani,” tantang Hellen. Yuki yang merasa penasaran, menerima tantangan itu. Slush ! Tanpa basa-basi lagi, dia memasukkan kakinya ke air. Kini, kakinya serasa membeku seperti air yang berubah menjadi es di temperature 0 derajat celcius. Yuki menarik kakinya keluar dari air yang barusan membuat ia terkejut. Airnya dingin sekali. Hellen menahan tawanya, memandang Yuki yang tengah sibuk menghentak-hentakkan kakinya. “Aah, nenek,” Yuki ikut tertawa.“Ayo kita balik,” ajak Hellen yang puas mengerjai Yuki.
“Kak Leooooon! Bangun kak,”
Mimpi Leon hilang tiba-tiba. Sebagai gantinya, kini Kenzo berada di hadapannya. “Ah, Kenzo. Jam berapa nih, Ken?” tanya Leon dengan mata setengah mengantuk. “Jam 6, kak,” jawabnya. Leon mengucek matanya, lalu keluar dari kamar. Kamar Yuki yang terbuka membuat Leon ingin tahu dimana Yuki sekarang. Leon melahap sarapannya.
Yuki pulang ke panti ketika semua sudah selesai sarapan. “Kak Yuki…,” panggil Rena. “Ada apa, Rena?” tanya Yuki sambil mencubit pipi Rena. “Kakak kemana aja? Udah makan, Kak?” tanyanya. “Baru aja kakak mau makan,” Yuki melangkahkan kakinya ke ruang makan. Liu Mei menyambutnya hangat di ruang makan. Ia mendorong kursi rodanya ke arah Yuki lalu memberikan sepiring nasi goreng pada Yuki. “Terima kasih,” ucap Yuki sambil tersenyum. Nisha ikut makan bersama Yuki. Cara makannya tidak beraturan sehingga remah-remah nasi berceceran di meja.
Yuki mengambil piring Nisha. Disuruhnya Nisha duduk, lalu secara perlahan ia menyuapi Nisha. Untunglah, Nisha yang penurut, mau makan sampai habis. Sebenarnya ini tugas Sheila. Namun, sampai pagi ini, Sheila belum menampakkan batang hidungnya juga. Sedangkan Raka, ia hanya menyiapkan sarapan, lalu pergi entah kemana. Tapi, kehilangan mereka tidak berlangsung lama. Seperempat jam kemudian, mereka menampakkan lagi wajahnya di panti. Ekspresi mereka khawatir akan anak-anak panti. Namun, mereka bernafas lega tatkala melihat semua sudah sarapan.
Tengah hari, Leon dan Yuki menemui Sheila di ruangannya. Pamit pulang. Sheila tersenyum. “Sebenarnya, kalian gak perlu jalan,” ujarnya. Leon heran. “Maksud kakak?”.
“Dari kemarin, saya dan nenek Hellen udah mengirim surat ke kota, tentang kabar kalian dan denah panti ini. Kami pakai alamat yang ada di kartu nama Leon yang terjatuh. Kami pun sudah dapat balasannya, kalian akan tinggal di sini sampai mereka menjemput kalian,” jawab Sheila.
“Kak Sheila tahu kapan kita dijemput?” tanya Yuki. Sheila mengangguk. “Tentu. Saya akan kabarkan kalian malam sebelumnya,”. Kini, hanya ada satu pertanyaan dalam benak Leon. Mengapa Leon malah disuruh tinggal di sini padahal Pak Sais bisa menjemput Leon hari ini juga?
“Kak Leon…Ke sini, deh,” suara seseorang terdengar dari depan panti. “Kenzo,” gumam Leon. “Kak, aku menemani Kenzo dulu. Terima kasih. Permisi,” setelah berbicara seperti itu, Leon keluar dari ruangan Sheila. Yuki memilih untuk mengikuti Leon. Ternyata, kedelapan anak sudah berkumpul di depan panti.
“Kak Yuki ikut?” Rena memiringkan kepalanya sambil menatap Yuki. Yuki mengangguk. “Semuanyaa, kita akan berpetualang. Ayo berbaris!” kata Wins lantang. Dua banjar laki-laki dan perempuan terbentuk. Leon dan Yuki memilih tempat di belakang. Abi dan Miya memimpin barisan. Mereka memegang kertas yang berisi “rute perjalanan”.
“Majuu,” seru Abi. “Ok, kapten,” sahut anak-anak lain. Mereka pun memulai perjalanan mereka. Yuki mendorong kursi roda Liu Mei.
“Kita sampai di rumah seorang yang lembut dan baik. Nenek Hellen,” kata Abi. Hellen keluar dari rumahnya. “Oih…Anak panti dan 2 orang muda. Mau mampir?” Nenek Hellen menyambut jejeran pasukan cilik tersebut dengan senyuman. “Tidak, nenek. Kami akan melanjutkan petualangan kami ke tempat lain. Terima kasih, nenek baik…,” ucap Miya.
Target selanjutnya, kedai mi rebus. Seorang bernama Carter keluar. Ia adalah pemilik kedai yang berumur 30 tahun. “Mau mi apa?” tanyanya. “Kita tidak mau makan. Kita mau berpetualang ke tempat yang lain,” jawab Lyner. “Dadah..Pak Carter,” Wins melambaikan tangannya.
Sudah beberapa tempat mereka lalui. Sampailah di sungai. Kenzo menoleh ke arah Leon sambil mengedipkan mata kanannya. Leon mengangkat jempolnya. Semua pun menceburkan dirinya ke sungai kecuali Liu Mei dan Yuki. Mereka hanya di tepi sungai sambil menatap teman-teman lain yang kini bermain di sungai. Baju mereka kuyup sekali.
Di tengah asyiknya suasana itu, tiba-tiba langit menggelap dan…titik titik air menjatuhkan dirinya ke bumi. Semua segera berlari pulang.
Hujan yang agresif, kini mengganas. Sampai di panti, semua langsung melarikan diri ke kamar mandi. Selesai membersihkan diri, hujan perlahan menghentikan produksi airnya. Sebagai gantinya, sebuah pelangi hadir. Di balkon panti, semua berkumpul dan menyaksikan keindahan langit saat itu. Kagum, senang, dan bahagia.

Selasa, 01 Juni 2010

Bab 5

Leon menolak secara halus. “Maaf, ya…Kakak harus ngomong sama Kak Sheila dulu,”. Kenzo terlihat kecewa. Leon tidak tega melihatnya. “Kenzo tunggu sebentar ya..,”
Leon masuk ruangan Sheila. “Maaf, kak. Aku harus ngomong sesuatu,”. “Apa?” tanya Sheila. “Sebenarnya, aku sama Yuki…,”. Leon menuturkan kejadian yang menimpanya dengan Yuki. Sheila tertegun. “Jadi, sebenarnya…kami hanya ingin tahu jalan untuk ke kota,” Leon mengakhiri ceritanya.
“Ada jalannya. Namun perjalanan akan memakan waktu berjam-jam jika kalian berjalan kaki seperti itu. Sedangkan ini sudah pukul 4 sore,” jawab Sheila. Tatapan matanya serius. “Baiklah, kami akan menginap di sini dan melanjutkan perjalanan esok hari,” kata Leon. Sheila pun membuka suara, “Sebenarnya aku sudah berpikir, akan berguna jika kami punya telepon. Terutama untuk kasus ini. Namun pemerintah baru membangun jalur listrik sementara jalur telepon belum ada. Bahkan sinyal pun tidak bisa sampai,”. Leon memaklumi itu. Memang desa tersebut agak terpencil.
Kenzo menyambut Leon di luar. “Ayo, kak,” katanya. Leon mengikuti Kenzo. Jalan-jalan, pematang-pematang sawah, dan rerumputan ia lewati bersama Kenzo. Di tengah jalan, Leon teringat sesuatu. “He, kita harus ajak kak Yuki, ingat?”. “Gak ah..Aku pinginnya sama kak Leon aja,” katanya. Leon terdiam.
Jalan, pematang sawah, rerumputan mereka lewati. Sungai berair dingin akhirnya mereka temui. Kenzo duduk lalu mencelupkan kakinya. “Ah..Segar !”katanya girang. Leon ikut melepas sepatu dan mencelupkan kakinya. Aliran sungai yang dingin berdesir perlahan di kakinya menunjukkan arusnya pelan. Air sungai itu bening. Batu di dasar sungai terlihat dengan jelas. Jauh berbeda dengan sungai di daerah perkotaan yang keruh. Leon dan Kenzo berbincang-bincang, membicarakan soal panti asuhan.
Kenzo, Li Mei, Rena, Miya, Lyner, Abi, Nisha, dan Wins adalah anak-anak panti yang tidak pernah menyesal tinggal di dalam panti. Mereka berjuang walau umurnya masih belia. Karena itu, setiap anak selalu ditanamkan sifat yang baik oleh Sheila dan Raka. Mencuci piring sehabis makan, merapikan tempat tidur saat bangun pagi, dan hal-hal ringan lainnya adalah kegiatan wajib. “Ken, udah jam setengah 6. Kita pulang yuk,” ajak Leon. Kenzo mengiyakan lalu berlari pulang dengan cepat. Leon mengejarnya dari belakang. Mereka berlari dengan riang. Leon pikir, inilah perasaan kalau aku punya adik laki-laki, bermain, berlari, dan melakukan hal-hal seru lainnya. Ia jadi teringat akan Keiko. “Kak, aku kangen kakak,” katanya dalam hati.
Kita beralih dulu ke cewek cantik yang berambut pendek ini—Yuki. Ia sedang akrab dengan Rena yang mengajaknya bermain di kebun teh bersama anak perempuan lain. Yuki mendorong kursi roda Liu Mei pelan menyusuri kebun teh yang luas. Liu Mei yang berdarah Cina dan bermata sipit, telah mengidap polio sejak masih kecil. Mungkin, itulah alasan orangtuanya menaruh bayi Liu Mei di depan panti untuk diasuh dan dibesarkan. Yuki berjalan lagi mengikuti Rena. Matanya tertumbuk pada seorang anak. Nisha. Anak yang mengalami kekurangan mental yang membuatnya tidak bisa mendengar dan berbicara dengan jelas. Yuki merasakan suatu perasaan. Entahlah, itu sedih, terharu, atau menyesal. Semua berpadu menjadi satu. Hatinya terenyuh.
“Kak Yuki,” Rena memanggil Yuki. Yuki menghampiri Rena. “Ada apa, Ren?”. Rena mengajak Yuki pulang. Katanya ia ingin main di panti saja. Mereka pun berjalan pulang.
Hawa dingin menyelimuti malam itu. Pukul 9 malam, semua sudah terlelap termasuk Sheila dan Raka. Leon tidak bisa tidur malam itu. Ia beranjak ke balkon dan duduk menghadap jutaan bintang yang bertaburan di langit malam. Kaus biru dan celana selutut dikenakannya. Biasanya, saat itu, ia sedang menonton TV bersama Keiko dan mama. Namun kini, semuanya berbeda. Ia tidak di rumah dan yang dilakukannya sekarang hanya menunggu bintang jatuh agar ia dapat menyampaikan permohonannya yaitu pulang ke rumah dengan selamat.
Seseorang datang dan duduk tepat di sebelahnya. Yuki. “Aku tak bisa tidur,” katanya sambil mengacak rambut lurusnya yang panjangnya hanya sedagu. “Besok, kita harus pulang,”.
“Aku kangen rumah,” kata Leon. Ia menghela nafas panjang lalu berkata lagi, “Aku juga tak bisa tidur,”. Yuki menceritakan pengalamannya dengan Rena dan kawan-kawan lainnya. Leon mendengarkan dengan antusias. “Rena, Miya, Liu Mei, dan Nisha. Mereka tidak pantas di sini,” kata Yuki mengakhiri ceritanya.
“Kenzo sudah kuanggap sebagai adik sendiri,” ujar Leon. “Ia mengajakku ke sungai, bermain bersama Lyner, Abi, dan Wins, dan berbincang-bincang layaknya adik sungguhan,”.
Keduanya kini memandang langit. Jam menunjukkan pukul 10. Tapi mata mereka masih seringan kapas, tidak ada rasa ngantuk.

“Yuki,” sapa bintang. “Kamu belum tidur?”
“Belum,” jawab Yuki. “Aku belum ngantuk,”
“Tidurlah, Yuki. Besok kau mau pulang, kan?”. Yuki mengangguk. “Leon sudah tertidur,” kata bintang. Yuki melihat sebelahnya. Tidak ada orang. “Dia…Sudah tidur?” tanya Yuki. Bintang mengiyakan. “Nah, sudahlah…Aku akan menerangi malam mu yang kelam. Tidurlah dan aku akan menemanimu diantara dinginnya malam ini,”.

Yuki pun terlelap dan siap untuk menyambut matahari yang akan terbit esok pagi.

Senin, 31 Mei 2010

Bab 4

Mata Yuki masih lengket. Rasanya ingin tidur terus. Namun, sepertinya, ini bukan saat yang tepat untuk tidur lagi karena sekarang sudah jam 1 siang. “Haaa…Sekarang udah jam 1?” seru Yuki sambil membuka tendanya. Leon belum kelihatan juga. “Leon, kamu udah bangun?” tanya Yuki. Tidak ada jawaban. Tadinya, Yuki berniat membangunkan Leon supaya meneruskan perjalanan. Tapi, sepertinya Leon masih lelah. Jadi, Yuki membatalkan niatnya. Yuki memakan bekalnya. Perutnya yang kosong kini mulai terisi. Tak lama kemudian, Leon keluar dari tendanya. “Udah makan ya?” tanya Leon. “Udah dong. Ayo, Le. Kita lanjutkan perjalanan lagi,” kata Yuki.
“Ok, tapi tujuan kita kemana, Kapten Yuki?” tanya Leon.
“Ke sana,” Yuki menunjuk jalan yang menurutnya benar. Mereka pun berjalan dengan satu harapan yaitu pulang. Surya menyinari bumi dengan terik. Namun, di pegunungan, suhunya nyaman sekali. Jalan setapak yang mereka lalui seolah tidak ada ujungnya.
“Hauh…Sudah berapa lama kita berjalan? Kayaknya udah 10 kilometer ya?” Yuki mengusap peluhnya.
“Gak tau deh. Mau istirahat dulu, gak?” tanya Leon. Yuki segera berkata, ”Iya”. Mereka duduk kembali. Leon melakukan yang namanya makan siang walaupun sebenarnya terlambat. Yuki hanya duduk. Perjalanan mereka lanjutkan kembali ketika Leon sudah selesai makan. Mereka kembali menelusuri jalan setapak yang mereka tempuh.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah pertigaan. Mereka memilih untuk berjalan ke kanan. Kali ini, jalanannya luas, mungkin muat untuk satu truk besar. Bukan jalan setapak lagi. Tak lama kemudian, sampailah mereka di sebuah pemukiman atau lebih tepatnya desa. Intinya, mereka sudah keluar dari hutan. Seorang nenek-nenek yang tengah membawa hasil pertaniannya, melihat ke arah mereka. Tampaknya bawaan si nenek berat sekali. Jadi, Leon berencana untuk membantu. “Nek, perlu saya bantu?” tanya Leon ramah. “Siapa kamu..? Nenek sepertinya belum kenal…,” jawab nenek dengan pelan. “Saya orang baru di sini, Nek,” jawab Leon, asal. Yuki hanya memperhatikan tingkah Leon. Nenek tersebut segera menurunkan hasil pertanian miliknya. Ia menyodorkan sekeranjang daun teh pada Leon. “Rumah nenek di sana,” nenek menunjuk sebuah pondok. “Terima kasih, sudah mau membantu,” kata nenek lagi. Leon menjalankan tugasnya. Yuki mengikuti dari belakang.
“Ngapain sih, kamu?” tanya Yuki heran. Leon menjawab, ”Bantuin orang,”. Yuki terdiam sesaat namun ia segera menyadari maksud Leon.
Sesampainya di pondok milik nenek, si nenek mengucapkan terima kasih lagi dan menanyakan dimana mereka tinggal. Giliran Leon yang memutar otak karena bingung harus bilang apa. Mereka kan…sebenernya bukan orang baru.
“Kami sebenernya…dari kota, nek” kata Yuki nekat. “I..Iya , nek. Kami dari kota. Tapi, di sini, kami belum dapat tempat tinggal, nek,” kata Leon (yang juga asal). Nenek menggumam. “Mmm… Kalian…,” Nenek terdiam sejenak. “Rumahku sempit. Tapi, aku akan membawa kalian ke tempat yang lebih baik,”
Leon menggeleng. “Gak usah, Nek,”. Tapi si nenek mendesak mereka. Nenek yang bernama Hellen ini mengajak mereka ke suatu tempat yang katanya bisa menjadi tempat tinggal sementara.
“Kamu sih…Ada-ada aja. Kapan kita bisa pulang kalo begini caranya?! “ protes Yuki. “Ya…Aku kan gak tau kalo begini jadinya,” kata Leon pelan. Setelah berjalan beberapa saat, kini sebuah bangunan tampak di depan mereka. Sederhana namun lebih baik dari rumah Hellen. Panti Asuhan. “Nenek tau kalian bukan anak yatim piatu. Tapi, ini adalah tempat paling tepat untuk kalian. Karena, sebagian besar desa ini, hanya memiliki rumah yang kecil,” ujarnya. Ia mengetuk pintu dan munculah seorang wanita yang kira-kira umurnya masih 30 tahun.
“Ada apa, nek?” tanya wanita itu ramah. “Mmm.. Ini, saya menemukan 2 orang ini di jalan. Mereka dari kota, tapi belum dapat tempat tinggal di sini,” jawab Hellen. “Tolong beri mereka tempat untuk beristirahat,”. Hellen berlalu begitu saja.
“Silahkan masuk,” kata wanita itu. Namanya Sheila, seorang pengurus panti asuhan yang baik dan perhatian terhadap anak asuhnya. “Kita memiliki 8 anak asuh. Sedikit ya? Eh, mari aku tunjukkan kamar kalian,”. Leon dan Yuki berjalan mengikuti Sheila menuju lantai 2. Di lantai 2, terdapat 4 buah ruangan. 2 kamar berukuran 1x2.5 meter, yang akan menjadi kamar mereka serta ruangan Sheila dan asistennya. “Aku masih agak sibuk. Jadi…,” ucapan Sheila terpotong. Sebagai gantinya, terdengar suara teriakan anak kecil. “Liu Mei…Jangan nangis…Kakak ke sana ya. Ka, bantuin 2 orang ini, ya…” Sheila langsung ke tempat Liu Mei. Sementara itu, seseorang bernama Raka hadir.
“Namaku Raka. Siapa nama kalian?” tanya Raka. “Aku Yuki. Dia Leon,” jawab Yuki singkat. “Ok. Sekarang, kamu masukkan barang-barangmu ke kamar. Kita makan bareng-bareng di bawah. Cepat ya. Nanti kehabisan loh…,” kata Raka.
Kamar mereka hanya memiliki sehelai kasur bukan tempat tidur seperti yang dimiliki mereka di rumah, sebuah meja dan jendela di sudut ruangan. Mereka menaruh barang-barang di situ, lalu pergi ke ruang makan.
Di ruang makan, telah duduk 8 orang anak yang masih berusia sekitar 6-7 tahun. Kak Raka memanggil Leon dan Yuki. “Sini… Kita makan bersama,”. Selesai berdoa, semua melahap makanannya. Makanannya tidaklah mewah, hanya nasi, tempe, tahu, dan sup ayam. Namun, mereka tetap menghargai itu. “Hari ini, kita kedatangan tamu, teman-teman,” kata Raka. “Siapa, kaaak?” tanya seorang anak. “Ini,” Raka mengenalkan Leon dan Yuki pada semuanya. Mereka terlihat lucu sekali seolah-olah Yuki dan Leon akan menetap di situ dalam interval waktu yang lama.
Setelah mencuci piring masing-masing, anak-anak langsung menghambur. Ada yang bermain, ada yang ke kamarnya. Leon memilih untuk naik ke kamarnya. Ia ingin merenung dan merencanakan bagaimana caranya pulang. Di tangga, ia melihat seorang anak berusaha meraih pijakan tangga dengan kakinya. Anak tangganya memang sedikit tinggi. Leon tadinya ingin membantu anak yang kesulitan tersebut. Namun, anak tersebut, tiba-tiba jatuh di anak tangga kelima. Kontan, ia menangis. Leon segera menghampiri anak tersebut. “Sakiiit… Kakiku sakiiit,” rintih anak tersebut pelan. Heran, tidak ada orang saat itu.
Leon berlari mengambil kotak P3K di kamarnya lalu mengobati anak tersebut. “Makasih, kak…” ucap anak itu. Ia masih kesulitan berjalan, karena itu Leon memapahnya. “Namamu siapa?” tanya Leon.
“Kenzo,” jawabnya singkat. Sampai di lantai 2, Kenzo menuju ruangan Sheila. “Kak Sheila, aku boleh ke sungai, gak?”.
“Boleh dong, Kenzo. Ajak kak Yuki sama kak Leon juga ya…,”. “Yang baru itu ya, Kak?” tanya Kenzo. Sheila mengangguk. Kenzo keluar dan didapatinya Leon menunggu di depan ruangan. “Kak, ayo kita ke sungai. Ajak kak Yuki juga ya…,”
***

Sabtu, 29 Mei 2010

Bab 3

Pukul setengah 7, semua diminta berkumpul untuk acara api unggun. Api yang dinyalakan bukan sekedar api biasa. Api unggun kali ini, suasananya seolah menyatu dengan alam hutan. Nyanyian, tarian, dan performance yang dipertunjukkan melengkapi keceriaan saat itu.
Pukul 8 malam semua berkumpul kembali di tepi hutan. Suasana perlahan menjadi tenang. “Kita akan uji keberanian dengan menyusuri hutan ini. Kalian berjumlah 60 anak jadi tidak mungkin satu persatu. Jadi, kalian akan diundi untuk memilih pasangan. Di sini, sudah ada box yang berisi kertas yang telah dituliskan angka-angka. Kalian ambil kertasnya. Angka yang sama akan menjadi pasangan. Tidak hanya itu, angka itu juga merupakan urutan kalian. Mengerti semuanya? Sekarang satu persatu, ambil undian kalian,”. Mereka mulai mengambil undian. Leon melirik kertas undiannya yang masih dilipat rapi lalu membukanya perlahan. Nomor 10.
“Le, siapa pasanganmu?” tanya Xander. Pertanyaan Xander dijawab dengan kata tidak dan Leon melontarkan pertanyaan balik. "Kamu?"
“Itu…Si Anne,” tunjuk Xander pada Anne yang sedang bercengkrama dengan gank nya. “Cepat cari pasangan kamu. Nanti Pak Adam keburu memanggil kamu,” Leon mengangguk. Leon berjalan perlahan mendekati rombongan 9-3. Tiba-tiba seseorang memanggilnya.
“Ketua kelaaaass…Nomor berapa?” tanya Aya. Leon menunjukkan kertasnya. “Yah.. bukan nomor 5 nih… grrr…siapa sih yg nomor 5…,”.

“Yuki, kamu udah dapet pasangan?” tanya Aya. “Mm..belum,” jawab Yuki. Aya menanyakan nomor Yuki. Yuki pun menunjukkan nomornya.
“Wuah, Yuki…Kamu beruntung banget,” seru Aya dengan muka cerah.
“Kenapa?”
“Kamu pasangan ketua kelas…,” jelas Aya sambil tersenyum. Yuki mengerutkan keningnya. “Trus kenapa?”
“Ah…Kamu cewek paling ber-un-tung. Yuk, cepat temui ketua kelas sebelum Sir Adam memanggilmu. Kamu urutan ke-10 kan. Ini udah urutan 7 loh,” kata Aya. Yuki segera menghampiri Leon. Ia segera melirik kertas yang dipegang Leon. “Wah, aku sama ketua, nih…,” kata Yuki kepada Leon. Leon pun melihat kertas Yuki. Beberapa menit kemudian, mereka pun dipanggil.
“Nomor 10, kesini,”. Yuki dan Leon pun menghampiri Sir Adam. “Kalian sudah bawa tas dan senter kalian?” tanya Sir Adam. Yuki dan Leon mengangguk. Sir Adam menyodorkan selembar kertas yang ternyata adalah peta rute perjalanan kepada Leon. “Jangan sampai hilang, ya. Ini peta kalian,”. Yuki merasa gugup. Leon pun begitu. Sesaat lagi, mereka akan menyusuri hutan yang lebat, yang penuh dengan misteri alam. Sir Adam memberi aba-aba untuk masuk. Mereka pun menjalani itu.
Masih ingat tantangan Yuki? Ia harus berperang melawan angin karena tidak bawa jaket. Setelah beberapa menit perjalanan, Yuki mulai menggosokkan tangannya untuk menghangakan diri. Beberapa pertigaan dan perempatan mulai muncul. Mereka segera melihat peta mereka. Pertigaan pertama. “Belok kiri, kan?” tanya Leon sambil menunjuk peta. Yuki mengiyakan. Mereka berjalan kembali. Tak terasa, mereka telah berjalan cukup jauh. Leon merapatkan jaketnya yang berwarna hitam. Sementara Yuki, masih bertahan. Dalam hati, Yuki memaki dirinya sendiri, “Kenapa aku bisa lupa bawa..! Grr..Yuki payah..Yuki payah!”
“Gak pake jaket?” tanya Leon. Yuki menggeleng lemah namun Leon dapat membaca perasaan Yuki. Ia melepaskan jaketnya lalu mengulurkannya ke Yuki. “Nih,”. Awalnya Yuki menolak. Tapi karena keadaan yang tidak memungkinkan, akhirnya Yuki mengenakan jaket Leon juga. Mereka berjalan lagi. Supaya tidak bosan, mereka berbincang-bincang.
“Le, kamu pendiam banget ya,” kata Yuki.
“Ah…Abis, aku sering gak tau apa yang mau diomongin,” jawab Leon.
“Kalo ada topik pun, kayaknya kamu lebih banyak mendengar. Misalnya, sama Xander.”
“Memangnya sekarang aku lagi apa? Aku sering bicara juga kok. Xander aja yang kebanyakan ngomong. Selalu deh, yang mau aku bicarain, keburu diucapin sama dia. Haha,” kata Leon sambil tergelak.

Mereka pun mulai lelah dan duduk di bawah sebuah pohon. “Kayaknya, peta setiap pasangan beda-beda ya,” Yuki merentangkan tangannya. “Mungkin,” jawab Leon. 5 menit kemudian. Mereka melanjutkan perjalanan. Sampai di sebuah perempatan, mereka melihat peta mereka. “Lah, setelah pertigaan ini kan, gak ada perempatan lagi,” ucap Yuki. Leon menyipitkan matanya. “Iya, kamu bener. Kayaknya, kita salah jalan,” kata Leon.
“Jadi, kita balik?” tanya Yuki. Leon mengangkat bahunya. “Ah, jangan gitu, Le. Kita jadi harus gimana?”. Leon akhirnya berkata,”Aku pikir kita harus balik. Tapi, kalau ternyata itu bukan jalan yang tepat, aku gak bisa ngapa-ngapain lo, ya,”. Yuki mendesah. “Kita harus coba,”.
Mereka pun kembali. Namun, setelah berjalan, berjalan, dan berjalan..jauh sekali, pada akhirnya, mereka cuma menemui kata “tersesat”. Badan mereka serasa lemas. Lemas sampai mereka rasanya tak sanggup untuk meneruskan perjalanan mereka lagi. “Jadi…,” kata Yuki terbata. “Bawa handphone, gak?” tanya Leon. “Aku gak mungkin bawa. Kalaupun bawa, pasti udah disita sama Miss Chelia. Kita sekarang harus gimana nih…,” suara Yuki mulai bergetar. Yuki mengigit bibirnya. Rasa takut, bingung, dan sedih bercampur menjadi satu. Mereka mulai berteriak. Siapa tahu, ada yang mendengar teriakan mereka. Namun, usaha mereka sia-sia.
“Tenang, Yuk. Aku juga sama kayak kamu. Jadi sekarang, ada 2 pilihan. Mau terusin perjalanan malam ini atau besok?” Leon berbicara dengan halus. Yuki hampir terisak. Namun, ia menahan tangisnya (Bayangkan saja jika kau menangis di depan ketua kelas mu. Ew, memalukan.). “Ok.Kita berkemah di hutan yang mengerikan ini. Dan, besok kita lanjutkan,” kata Yuki.
Leon dan Yuki membangun tendanya masing- masing. Saat itu, arloji mereka menunjukkan pukul 11 malam. Tanpa dikomando, setelah tenda selesai, mereka langsung tidur.

Sementara itu, para guru mulai khawatir. “Masih ada 1 pasangan yang belum kembali, Miss,” kata Sir Adam. “Ya, Leon dan Yuki. Ada apa dengan mereka ya.. Saya mulai takut..,” jawab Miss Chelia parau. Nadanya sedih sekali.
Beberapa guru mulai melakukan pencarian. Mereka masuk ke dalam hutan dan mencari Leon dan Yuki. Namun, hasilnya nihil. Mereka tidak ditemukan.
Murid dan Guru merasakan kesusahan masing-masing. Besok, pasti ada kesusahan tersendiri. Pasti.

Jumat, 28 Mei 2010

Bab 2

“Le, besok kamu camping, kan? Kok, belum siap-siap, sih? Nanti pakai tas apa? Gak mungkin bawa koper kan?” Pertanyaan mama menunjukkan bahwa mama saat itu butuh penjelasan Leon secepatnya.
“Aku kan punya tas besar, ma. Tapi masih di gudang,” jawab Leon.
“Pak Sais, ambilin tas Leon di gudang, ya Pak,” perintah mama kepada Pak Sais segera dijalankan Pak Sais. Namun, Leon mencegat Pak Sais. “Aku aja, Pak,”
Gudang di rumah Leon terletak di dekat garasi. Pengap dan berdebu. Leon menutup hidung dan mulutnya rapat-rapat. Tas Leon terletak di tengah gudang, sehingga perlu usaha untuk mengambilnya. “Ah, “ Leon bernafas lega saat keluar dari gudang. Tas hitam besarnya masih terbungkus plastik bening (yang kini berdebu). Ia segera membawanya ke dalam rumah.
“Ma, nih tas Leon,” Leon memperlihatkan tas besar yang didapatnya dari gudang tersebut. "Masih bagus." kata mama. Leon melepas lapisan plastik yang membungkus tas tersebut lalu membawa tas tersebut ke kamarnya.
"Kamu beli makanan sendiri ya. Nih uang buat jajan,” Mama menyodorkan uang 50.000 kepada Leon. Leon beranjak ke MiniMarket yang terletak di dekat rumahnya. Ia segera menuju ke lorong mi instan gelas. Makanan ini memang paling praktis karena cukup diseduh air panas. Lalu, lorong biskuit dan permen, serta lorong minuman. Uang 50.000 nya masih tersisa. Ia pun pulang ke rumah.
Malam harinya, tepatnya jam 7, Leon masih sibuk mengemas barang-barangnya. Keiko, kakaknya, menghampiri Leon. “Butuh bantuan?” Leon mengangguk.
“Mmm..Gak bawa Handphone?” tanya Keiko. Leon menggeleng. “Miss Chelia tidak mengizinkannya,”.
Keiko kembali memasukkan barang-barang Leon seperti senter, tali, dan lain-lain. Ia terpaku pada kotak P3K yang akan dibawa Leon. “Le, buat apa kotak itu?”
“Aku kan anggota UKS, jadi harus bawa. Hahaha…,” jawab Leon sambil cengengesan. “Jangan kangen ya, selama aku pergi camping,”
“Gak bakal !”
Leon segera pergi tidur saat ia selesai mengemas perlengkapannya. Besok akan menjadi hari yang baru dan…takkan terlupakan.

Pukul 8 pagi semua murid kumpul di kelasnya masing-masing. Kelas menjadi sedikit ramai karena sibuk membicarakan camping. Namun, semua keramaian itu berhenti ketika Miss Chelia, sang wali kelas memasuki ruangan. Suasana mendadak hening.
“Xander” panggil Miss Chelia.
“Hadir,” jawab Xander. Miss Chelia mengabsen murid-muridnya. Setelah mengabsen, Miss Chelia melakukan pemeriksaan tas. Beberapa murid terlihat memucat saat tasnya diperiksa. Apalagi ketika banyak barang elektronik, mainan, dan uang telah berpindah ke tangan Miss Chelia. Padahal, dari awal sudah diperingatkan untuk tidak membawa benda-benda tersebut.
“Barang-barang ini,” Miss mengangkat handphone salah satu anak. “Akan dikembalikan saat kalian pulang. Sekarang semua yang mau ke kamar kecil, pergi. Karena di jalan, kita tidak akan berhenti. Mengerti?” Sebagian besar segera melarikan diri ke kamar kecil. Leon mencuci tangan dan membasuh mukanya yang masih mengantuk sehingga segar kembali.
Ada 3 bus, yaitu 9-1, 9-2, dan 9-3. Total anak yang ikut berjumlah 60 anak dan semua segera masuk ke dalam bus. Leon dan Xander menempati kursi baris ketiga dari depan. “Yaa..Udah ada orang,” kata Yuki kecewa saat melirik baris ketiga telah diduduki Leon dan Xander. “Di baris kedua aja yuk,” usul Aya. Yuki dan Aya segera duduk di baris kedua.
Selama di perjalanan, beberapa anak tertidur. Leon membaca buku yang dibawanya semetara Xander tengah memandang ke arah jalanan. Yuki asyik memakan makanan ringan sambil berbincang dengan Aya.
“Kemaren, kamu jatuh gara-gara Anne,” kata Aya.
“Masa sih?” Yuki menanggapinya dengan santai.
“Iya, bener. Kemaren aku lihat sendiri, dia meletakkan kakinya di jalur lari kamu,”
“Oh..,” jawab Yuki meneguk jus jeruknya. “Trus?”
“Jadi, kamu jatuh. Pas kamu ke UKS, dia sama geng-nya ketawa cekikikan. Huh!“
“Mmm…Begitu…,” Yuki mengangguk-anggukan kepalanya.
Sekitar 2 jam kemudian, bus mulai memasuki daerah pegunungan. Suhu pun turun menjadi sedikit dingin. “Sabar ya, 20 menit lagi,” kata Miss Chelia pelan. Tiba-tiba, Yuki tersentak. “Aku lupa bawa jaket !”
“Ha? Gak bawa jaket? Aduh, kamu ada-ada aja…Duh, dingin lagi,” kata Aya sambil mengenakan jaketnya dengan erat. “Gak apa-apa lagi, Aya. Aku kan cuma bilang lupa bawa. Gak berarti butuh kan?” kata Yuki. “Hah, terserah kamu, Yuk,” Aya menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Yuki memang mulai kedinginan. Tapi, bagi Yuki, ini adalah suatu tantangan yang harus ia hadapi. Brr..brrr…*dingin*

Bus berhenti di pinggiran hutan. Sesi pertama dimulai. Sir Basil memulai sesi dengan membawakan renungan tentang menjadi seorang pemimpin yang baik. Tak seperti yang diharapkan, semua tampak malas dan mengantuk. Setelah sesi yang membosankan itu, ada sesi fun games. Permainan yang terpilih untuk dimainkan adalah permainan yang tidak asing lagi yaitu tarik tambang. Anak laki-laki main duluan. 9-1 melawan 9-2 dan pemenangnya melawan 9-3. Anak 9-1 memang tangguh. Dalam 30 detik, mereka mampu mengalahkan 9-2.
“Leon, ayo ikut !” ajak Rezie. Leon sedang agak lelah saat itu. Namun Xander dan Rezie malah menarik tangannya.
“Ayo ikut, Le. Kita 9-3. Harus solid dong,” kata Xander. Leon pasrah. Leon memilih tempat di paling belakang, tempat yang mengharuskan pemain menarik lebih kuat daripada yang di depan padahal sebenarnya, maksud Leon adalah supaya tidak terlalu menjadi pusat perhatian. Kesulitan Leon dimulai sejak wasit memulai permainan. Detik-detik awal, Leon menarik dengan kekuatan biasa. Namun, keadaan menjadi tegang ketika tim 9-1 menarik dengan kuat. Kini, 9-1 hanya membutuhkan 3 cm lagi untuk menang. 9-1 nyaris menang. Nyaris. Bayangkan, ketika kemungkinan menang mereka hanya 0,01%, tim 9-3 terbakar semangatnya. Leon mengerahkan seluruh kekuatannya. Tak dipungkiri, akhirnya…9-3 menang ! Semua langsung menyentakkan tambang yang sedari tadi diperjuangkan susah payah lalu melompat girang. “9-3 menaaaaaang!!” Xander sepertinya merasa girang sekali. Rasa senang Leon tidak dapat ditutupi. Ia tersenyum dan tertawa bersama teman-teman yang lain sekalipun telapak tangannya berdarah. Mungkin karena terlalu kuat menarik tambang yang kasar, ya (pengalaman nih.. :P). Tapi, bagi Leon, itu bukanlah hal yang besar. Dia langsung mengobatinya sendiri.
Selanjutnya, giliran anak perempuan yang main. Kali ini, sepertinya 9-3 terdesak. 9-3 cuma mendapat juara 2. Tapi semua terlihat senang. Saatnya pembagian hadiah. Leon, sebagai ketua kelas, diminta mewakilkan teman-temannya untuk penyerahan hadiah. Miss Chelia membagikan bingkisan berupa satu dus binder file untuk juara 1 tim (isinya 10 buah) laki-laki serta satu dus biskuit untuk juara 2 tim perempuan (kali ini 20 bungkus). Setelah penyerahan hadiah, semua anak 9-3 langsung mengerubungi Leon seperti semut-semut yang melihat bola permen. Leon pun segera membagikan bingkisan-bingkisan tersebut kepada anggota kelas. Miss Chelia cuma bisa berdecak kagum ketika memandang anak muridnya.
Waktu berlalu cepat, kini matahari mulai membenamkan dirinya di ufuk barat. Pemandangan terlihat indah dan temperatur makin menurun. Maklum, kan daerah pegunungan. Semua menyantap hidangan makan malam yang disediakan pihak sekolah. Ada ayam goreng, sup ayam, dan makanan lezat lainnya.Setelah itu, mereka harus mencuci piring masing-masing karena di sini, mereka diajar untuk mandiri. Mereka juga tidak sabar menunggu malam karena acaranya pasti akan lebih seru dan menantang.
***

Kamis, 27 Mei 2010

Bab 1

Leon mendesah. “Mam, jangan ganti channel-nya. Aku masih nonton,”. Leon tidak digubris mama yang sekarang sibuk menonton acara favoritnya.
“Leon, kamu kan udah nonton dari tadi. Gantian, sekarang shift-nya mama,” ujar mama santai. Leon memilih untuk mengalah. Berdebat dengan mama, tidaklah menyenangkan. Ia punya seribu gudang alasan dan kata-kata yang dapat membuatmu kalah berdebat.
“Lebih baik, kamu belajar, Le. Biar makin pintar, biar bisa ngalahin sainganmu itu,” kata mama lagi. Leon terdiam di tempatnya. Ia sedang tidak punya mood untuk belajar.
Mama sangat senang menonton acara “Rising Sun”. Jadi, didalam acara itu, seorang reporter akan menemani seorang warga miskin yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dan, di akhir acara, si reporter akan memberi sumbangan dalam bentuk kebutuhan sehari-hari dan lain-lain. Mama sering nonton acara itu. Bahkan ia sering menitikkan air mata terharu ketika menyaksikan, betapa besar pengorbanan orang-orang yang ada di luar sana untuk bertahan hidup. Kali ini, Leon memilih untuk menonton itu. Dibandingkan hanya duduk dan melamun.
***

Keesokan harinya, di sekolah, Miss Chelia mengumumkan sesuatu. Kegiatan penting bulan ini. Camping untuk kelas 9.
“Ini kegiatan wajib dan kata Sir Adam, camping ini juga untuk ambil nilai IPA,” tutur Miss Chelia sambil membagikan lembaran yang berisi pemberitahuan. “Kasih lembaran itu ke orang tua kalian, ya. Jangan lupa,” Miss Chelia kembali mengingatkan. Leon segera memasukkan kertas tersebut ke dalam tasnya.
Hari itu ada pelajaran olahraga tepatnya bola basket. Jadi hari ini adalah hari yang menyenangkan untuk Leon yang sudah menganggap permainan basket adalah belahan jiwanya. Karena itu, ia berlatih sehingga sekarang ia bisa menge-shoot dari tengah lapangan dan passing dengan sempurna. Senyum Miss Henna, sang guru olahraga mengembang. Angka 9 tertulis di sebelah nama Leon.
“Nice play, Le,” kata Xander.
“Thanks,” sahut Leon.
Kini, giliran anak perempuan yang main. Yuki yang tidak terlalu mahir dalam bermain basket, memasuki lapangan dengan kepala tertunduk. Basket adalah salah satu titik lemah Yuki. Namun, Yuki tidak mudah putus asa dan ia berjuang untuk bisa basket. Mulai dari meminta kakak laki-lakinya, Yuuya, untuk mengajarkannya sampai les basket. Tidak sampai 1 bulan, ia berhenti karena menurutnya les basketnya tidak lagi menyenangkan.
Seorang bernama Sonna berjalan dengan angkuh ke arah teman-temannya yang sudah berada di lapangan. Dari kelas 7, perasaan iri kepada Yuki telah tertanam di dalam tanah hatinya. Ia akan melakukan apa saja supaya gelar perfect girl lepas dari tangan Yuki. Kali ini, sebagai tim lawan, ia mempunyai rencana yang cukup matang untuk Yuki.
Miss Henna melakukan jump ball. Bola dengan cepat berpindah ke tangan Aya. Aya men-dribble bola namun, ia dihadang tim lawan. Bola pun melayang ke arah Sasha. Sasha dengan sigap menangkap dan membawa bola. Kembali, ia dihadang. Yuki menjadi target lemparan Sasha. Kini Yuki memegang bola. Ia mencoba melakukan shoot dan…Masuk ! 1-0..untuk tim Yuki.
“Yuki…Keren banget…” puji Sasha.
“Makasih…” Yuki tersenyum. Jarang sekali bola basket bisa masuk ke dalam ring bila dilempar Yuki. Namun kali ini, Yuki berhasil.
Permainan berjalan kembali. Misha mengoper bola ke Anna, namun Aya dapat menebak alur bola itu dan Aya langsung merebut bola dan meluncurkannya ke arah Yuki. Timbul pikiran licik Sonna. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang baik untuk mencelakai Yuki. Dengan sengaja, ia meletakkan kaki tepat di jalur lari Yuki. (Aku yakin kau tahu apa yang akan terjadi kemudian). BRUUK ! Yuki terjerembab di lapangan. Sontak semua menoleh ke arah Yuki yang kini penuh dengan luka. Kakinya memar dan berdarah, tangannya lecet. Priiit ! suara peluit berbunyi nyaring.
“Tim Sonna—Foul !” seru Miss Henna. Sonna menahan tawanya. Ia terlihat puas sekali melihat Yuki. Ia sengaja memasang tampang menyesal dan bersalah. Yuki mengendalikan diri untuk tidak mengeluarkan air mata. Ia cuma meringis dan kini ia berusaha berdiri.
“Siapa disini ikut tim UKS ?” tanya Miss Henna.
“Le,..” panggil Xander. “Miss Henna memanggilmu,”. Leon yang sedari tadi melamun, kini tersadar. Leon segera menghampiri sang guru olahraga.
“Ada yang perlu saya bantu, Miss?”
“Le, bantu Yuki. Bawa dia ke UKS segera,” Leon mengangguk. Pandangannya kini tertuju pada Yuki. Yuki melihat sebuah tangan terulur padanya. Tangan seorang ketua kelas yang siap membantu. Yuki menengadah.
“Perlu kubantu?” tanya Leon. Yuki mencoba berdiri seraya menahan sakit. “Mmm..Mungkin,” kata Yuki serak. Yuki bisa berdiri, namun jalannya yang terpincang-pincang, tidak memungkinkan dia ke UKS sendirian. Karena itu, Leon memapahnya menuju UKS.
Di UKS, Yuki duduk di tempat tidur UKS. Ruangannya nyaman dan sejuk. Leon membuka lemari kaca yang terletak di sudut ruangan. Lemari yang berisi berbagai macam obat yang mampu menyembuhkan penyakit. Ia mengambil alkohol, obat merah, kapas, kassa, dan band aid. “Berikan tanganmu,”
Yuki mengulurkan tangannya. Leon membersihkan semua luka Yuki. Lalu, dengan hati-hati,ia memberikan obat merah serta band aid. “Bisakah kau ceritakan bagaimana kau bisa jatuh,” kata Leon. Yuki mengangkat bahunya.
“Mmm…Apa kau tidak melihatnya tadi? Well, aku berlari, lalu aku terjatuh,” jawab Yuki. Leon melanjutkan pekerjaannya lagi.
“Terima kasih,” kata Yuki. Leon segera mengajak Yuki keluar dari ruangan UKS. Mereka keluar dan kembali ke lapangan. Miss Henna menanyakan keadaan Yuki.
“Yuki, gimana..udah baikan?”
“Udah, Miss,”
“Hah, kita nonton teman-temanmu main basket aja ya, Yuki,” ujar Miss Henna pelan. Miss Henna dan Yuki duduk di tepi lapangan.
“Leooon...,”panggil Xander. Muka Xander kelihatan lesu. “Ini final. Tapi kita masih kurang 6 angka untuk menyamakan kedudukan”. Xander dan temannya, Rezie menarik lengan Leon lalu mereka menyodorkan bola pada Leon. "15 menit memang waktu yang sedikit. Tapi, kita yakin kok. Kalo ada kamu, kita pasti bisa. Tim kita bergantung sama kamu,".
Leon menghela nafas sejenak. Sedetik kemudian, ia mengoper bola ke Xander. Pelan. Xander menerimanya lalu men-dribble bolanya. 3 orang menghadangnya dan ia langsung mengoper ke Rezie. Rezie mengoper ke Leon. Leon menerima bola itu. Ia mencoba memasukkan bola ke ring. Leon mengharapkan 3 poin untuk lemparan ini. Harapannya menjadi kenyataan. Blasst! Masuk. Xander menepuk pundak Leon. “You’ve made it, Leon,”.
Menit-menit terakhir, Xander dan Leon memasukkan bola. Kemenangan pun berpihak pada tim Leon. Xander menunjukkan mukanya yang ceria sekali. Leon cuma tersenyum memandang kawan-kawannya menyerukan kata, “Yes!” di tengah lapangan.
Teng teng teng…Bel pergantian pelajaran bernyanyi dengan nyaring. Semua anak kelas 9-3 pun segera mengganti baju dan kembali ke kelas mereka.
***

Pro-Log

Huft… Lagi nonton TV… malah diganti channel-nya…
Apa gak bisa pakai TV lain, Mam?
Yeah, dia benar-benar gak sadar telah merebut remote TV dan mengganti channel yang kutonton. Ia suka sekali tayangan mengenai orang yang membutuhkan bantuan, anak-anak panti asuhan. Pokoknya, serba menyentuh. Kupikir, apa artinya nonton acara-acara seperti itu. Bahkan, ia menitikkan air mata saat menyaksikan seorang yang tua renta menerima sumbangan dengan sangat amat bahagia. Yah, memang mengharukan, tapi Mam, gak usah nangis gitu…
Oh iya, kita belum kenalan. Namaku Leon Wibowo. Umurku 14 tahun. Aku bersekolah di SMP Anzu kelas 9-3. Keiko adalah kakakku. Umurnya setahun lebih tua. Orangnya asik. Mungkin karena kami sama-sama cowok, ya.
Sebenarnya aku anaknya pendiam, agak dingin, dan pintar. Bukan sombong loh, tapi semua temanku bilang begitu. Kalo soal fisik, jangan tanya aku, ya. Tanya sama teman-temanku aja. Aku suka membantu orang lain. Ini juga gak bermaksud sok. Kalian harus coba yang namanya bantuin orang. Aku senang banget bantuin orang, apalagi melihat orang yang kita bantu merasa bahagia, aku pun ikut merasa bahagia. Aku juga ikut tim Usaha Kesehatan Sekolah. Jadi, aku bisa bantuin temanku yang sakit.
Menyangkut soal sekolah dan tingkat intelegensi, aku punya saingan di sekolah. Seorang anak perempuan bernama Yuki. Jujur, orangnya pintar. Entah, kami ditempatkan satu kelas. Dan, tahun ini, tahun terakhir di SMP, akan menjadi pertarungan final kami. Waktu kelas 7, dia juara satu, aku juara dua. Waktu kelas 8, yang terjadi adalah kebalikannya. Nah, sekarang kelas 9…Kira-kira, siapa yang pantas menyandang gelar juara 1 ? Mmm, tapi yang penting sekarang adalah belajar. Itu aja.
Yuki berbeda denganku. Orangnya periang dan (hampir satu kelas, baik laki-laki maupun perempuan mengakui) dia adalah perfect girl. Seseorang disebut perfect jika dia punya 4 poin. Physic (harus keren), Inteligent (pintar), Economy (kaya), dan Attitude (baik). Banyak temen-temenku yang naksir dia. Tapi, aku sama sekali gak tertarik dengan urusan percintaan. Karena fokusku sekarang hanya satu—mengalahkan sainganku.
***

Memulai World Beside Us

Hwhw, aku udah mencoba berulang-ulang yg namanya nulis. Tapi gak bisa-bisa. Tiba-tiba aja ada ide melintas. Ide itu membangkitkan aku untuk menulis kembali. Memang, imajinasi itu, kadang gak masuk akal. Tapi, i always keep fighting for that... Doain semoga berhasil ya..

-wxp :)