Sabtu, 24 Juli 2010

This is "me" speaking"

Hi.. :)
It's me, Leon.
I like my part in this story. Actually, I want to pick up some fight with the writter 'coz she's planning something with me at the end. She said to me, "Napa sih Leon sama Yuki gak berdua aja?"
Huh, you know what 'that' mean, right?
But, this ending is great. I love it. Meet you again next time.

Warm regards,
Leon.


Hi Guys :D
Yuki's here. Gaaah... Leon's totally wrong. I'm so happy when Cilla said that me and Leon will be together :)
Leon is perfect boy in 9-3 and many girls want to date with him.
Wkwk.. But, I really like the ending :)

Kamsahamnida,
Yuki


Hi all... Thanks for the reader :) Cilla's speaking here.
Just wanna say... I'm freeeee now! Yeah!
I love it :)
Leon, Yuki, all, I hope we can meet again. Thanks to all of you guys :)

Gomawoyo,
Priscilla

Epilog

Phew, aku dibebaskan dari tugas mengarang. Itu semua karena teman-temanku yang paling baik di 9-3… Aku terharu sekali sampai air mataku rasanya ingin keluar. Makasih juga buat wali kelasku yang paling baik, Miss Chelia, karena memberanikan dirinya menghadap Sir Adam. Ilysm, guys.. :) Akhir semester 1 ini, 9-3 diwarnai dengan kekompakan. Semoga saja dapat bertahan sampai semester 2.
Namaku Miyawaki Tooru, biasanya dipanggil Yuki. Aku bersekolah di Anzu kelas 9-3. Umurku 14 tahun. Kedudukanku adalah wakil ketua kelas. Aku benci dengan hal mistis, dan sejenisnya.
Yuuya adalah kakak laki-lakiku yang paling baik sedunia. Orangnya pendiam banget. Pintar juga, jadi bisa ngajarin aku.
Aku suka nyanyi, nari hip hop, dan makan karena tinggiku 168 cm dan beratku cuma 47 kg. Aku pingin tinggi, tapi gak bisa main basket. Cuma kak Yuuya yang bisa. Hiks…
Aku orangnya aktif, periang, dan…banyak omong. Pintar sih…lumayan lah. Rapot gak ada yang merah, gak pernah tinggal kelas. Haha…

Rival : Leon. Keren, Pinter, Tajir. Ok banget deh. Siapa sih yang gak mau sama Leon? (eaa :)
Orangnya pendiam, tapi enak kalo diajak ngobrol. Tapi maap ya, aku gak tertarik buat hal-hal begituan. Pingin deh sekali-kali ngalahin tu orang tapi susaaah banget. Tapi aku harus ters berjuang. Gambatte !!! :)

Jumat, 23 Juli 2010

Bab 9

Leon menemui Pak Sais yang berada di halaman panti. “Lei, ayo cepat, masukkan barang-barangmu,”. Leon mengangguk dan segera melakukannya. Yuki pun memasukkan ranselnya ke bagasi mobil Alphard itu.
Lalu, mereka menemui Sheila. “Kak, kami pulang dulu ya,” kata Yuki. Sheila mengangguk. “Hati-hati ya,” katanya lagi.
“Ken, kakak pergi dulu ya…,” kata Leon pada Kenzo. “Jadi anak yang baik yah,” lanjutnya. Kenzo mengacungkan jempolnya.

Setengah jam telah berlalu setelah mereka meninggalkan panti asuhan. Pak Sais mengatakan bahwa perjalanan akan memakan waktu cukup lama. Macet, katanya. Kini mobil masih melaju di jalan yang agak sempit. Yuki memejamkan matanya lalu menyandarkan kepalanya ke pintu mobil.
Macet melanda jalan tol siang itu. Mobil mereka berjalan sedikit demi sedikit. Pak Sais mengambil jalur tengah. Satu jam lewat, dan mereka baru menempuh jarak sekitar 500 meter. Supir pribadi keluarga Leon tersebut menghela nafas, mengira-ngira waktu yang mereka perlukan untuk sampai di rumah.
Namun, terjadilah suatu insiden. Mobil yang berada tepat di depan mereka, berhenti dengan alasan mati mesin. Pak Sais mecoba berpindah jalur. Sulit memang, karena dalam kondisi macet. Perlahan lahan dan akhirnya mereka bisa berpindah jalur. Leon menarik nafas lega.

Jam satu siang, mereka telah berada di depan komplek Gria Asri. Yuki menyiapkan tasnya.
“Rumahmu yang mana?” tanya Leon.
“Mm.. Belok kanan terus lurus. Nanti belok kanan lagi,” jawab Yuki. Rumah berlantai dua, tipe minimalis milik Yuki kini terpampang di depan mata.
“Thank You..,” kata Yuki sambil keluar. Leon tersenyum. Yuki segera memasuki rumahnya itu. Melepas sepatunya dan meletakkan tas ranselnya di lantai.
“Mamaaaa…Aku capek…,”

“Sais, kamu kemana? Leon ada dimana?” tanya mama panjang lebar.
“Mmm…,” Pak Sais menggumam. Leon memberinya tanda untuk tidak memberitahukan hali itu. “Macet di jalan. Jadi lama. Leon tidak begitu jauh kok,”
“Lei, kamu istirahat yah. Besok kamu kan sekolah. Udah, biar Pak Sais aja yang beresin bawaan kamu,” kata mama. Leon melirik Pak Sais. Pak Sais hanya mengangguk pelan.
“Gak usah, Pak… Aku yang beresin yah,” kata Leon pada akhirnya.

“Prince Leon is back…,”
“Princess Yuki is back, too..,” oceh-ocehan teman satu kelas mereka terdengar pagi itu. Leon yang baru memasuki kelas, langsung disambut Xander dengan tangan yang siap ber-toss.
“Leon… Akhirnya balik juga kau,” kata Xander sambil menepuk pundak Leon.
“Yukiiii chaaaan,” Aya berlari kearah Yuki yang masih berdiri di pintu lalu memeluk Yuki. “I miss you so much, my best friend… :)”. Mereka berdua cuma bisa diam. Entahlah, kata-kata apa yang harus mereka ucapkan.

“Leon, Yuki, terima kasih telah kembali ke sini,” kata Miss Chelia. “Tapi, karena kalian gak mengikuti camping sepenuhnya, maaf ya, Miss harus kasih kalian tugas mengarang satu lembar aja. Dikumpulin besok ke Sir Adam,”. Leon dan Yuki mengangguk.
“Miss,” panggil Xander. “Maaf miss. Menurut saya, mereka tidak pantas diberi tugas,”
“Saya setuju, Miss. Mereka kan tidak berniat untuk malas atau tidak mau mengikuti camping,” lanjut Aya. Rezie malah ikut-ikutan, Sasha juga.
“Haa… Kalian memang…kelas yang….,” kata-kata Miss Chelia terhenti. “Membela dua pemimpin kalian yang sebenarnya tak ada hubungan dengan kalian,”
“Miss, kita saling berhubungan. Mereka adalah pemimpin kelas kami yang paling baik,” bela Sasha. “Kita kan satu kelas,” lanjut Aya.

Tebak, apa yang terjadi selanjutnya.
Leon dan Yuki dibebaskan dari tugas.

“Makasih ya, semua,” ucap Leon pelan.
“M-makasih banyak yah,” Yuki sampai terbata-bata.

“Kita kan satu kelas. Harus solid, kompak, dan saling membantu dalam hal positif pastinya,”.

Sabtu, 10 Juli 2010

Bab 8

“Kak Leon, sini deh. Bantuin aku,” suara Kenzo terdengar dari sudut dapur. Piring-piring makanan yang kotor, tersusun di depan Leon. “Cuci piring, kak,” lanjut Kenzo. Mereka pun melakukan apa yang harus dilakukan. Sebelumnya, Leon sangat jarang mencuci piring. Biasanya ada pembantu di rumah. Tapi kini, demi membantu kawan kecilnya, Leon pun mengerjakan hal itu. Tak lama, kerjaan itu pun beres. Masih pukul 8 malam dan uniknya, aktivitas saat itu adalah cerita sebelum tidur di sebuah ruangan yang mereka sebut ruangan belajar. Ada sebuah meja bulat di tengah, namun tidak ada kursi di sana karena semua duduk di lantai. Hari itu adalah cerita tentang Cinderela. Suara Sheila yang lembut membacakan cerita dengan ekspresif dan intonasi yang membuat anak-anak menjadi tidak bosan.
“Cinderela pun sedih karena tidak bisa pergi ke pesta. Ia menangis. Namun seorang peri yang baik hati, datang dan berkata pada Cinderela, ‘Bangunlah, Cinderela. Ambilkan aku 4 ekor tikus, seekor kucing, dan sebuah labu,’. Cinderela pun melakukannya. Dan…Cring… Sang peri mengubah tikus menjadi kuda, kucing menjadi kusir, dan labu menjadi kereta yang idah sekali. Cinderela pun kini mengenakan gaun yang sangat indah…,”
Cerita yang berakhir dalam waktu 20 menit itu membuat beberapa anak tergugah. Di akhir cerita ada sesi tanya jawab. Setelah itu, semua pun beranjak ke kamar tidur masing- masing. Sheila memanggil Leon dan Yuki. “Ralat dari nenek Hellen, kalian akan berangkat besok. Bukan lusa. Itu saja. Selamat tidur,”. Sheila berlalu begitu saja. Kini, yang tersisa hanyalah mereka.
“Haaah. Akhirnya, aku bisa bertemu teman-teman,” kata Yuki. “Tapi kenapa sih, situasinya harus begini. Misalnya, seharusnya kita jalan kaki dari kemarin, tapi mereka bilang bahwa mereka telah mengirim surat ke alamatmu. Eh, sekarang, katanya dua hari lagi, ternyata besok,”. Leon terdiam, diam sekali. Yuki menatap Leon lalu ia menyadari perubahan air muka Leon.
“Aku tahu,” kata Yuki. “Kita akan meninggalkan mereka kan?”.
“Ya,” suara Leon terdengar pelan sekali.
“Tenang ... Kita bisa mengunjungi mereka sekali waktu. Untuk besok, berikan saja mereka sesuatu. Aku…juga sama sepertimu. Aku akan merindukan Kenzo, Rena, dan semuanya,” jawab Yuki. Kini, muka Leon terlihat lebih baik. Ia mengangguk lalu berkata, “Baiklah,”.
Sesuatu terjadi. Sedetik kemudian, gelap menyelimuti panti. Mati lampu. “Geez,” Yuki berdiri. Ia meraba dinding ruangan, mencari pintu. Setelah itu, ia membuka pintu namun di luar gelap juga. Sigh. Yuki teringat akan senter yang ada di dapur. Ia dan Leon pun berjalan menuju dapur walaupun sulit sekali karena semua tidak dapat terlihat jelas. Perlahan, ada seberkas cahaya. Cahaya lilin. Leon dan Yuki mendekatinya.
Kaki Yuki gemetar. Langkahnya terhenti sejenak. Pertama, Yuki tidak suka hal berbau mistis. Kedua, ia tidak punya keberanian yang cukup untuk itu. Ketiga, ia tidak yakin apa yang dilihatnya itu. Yuki menutup mata rapat-rapat.
Leon menggenggam tangan Yuki. “Itu…bukan apa-apa,” kata Leon. Sepertinya Yuki butuh waktu lama untuk mencerna kata-kata Leon. Tapi ternyata tidak juga. Lampu kembali menyala.
“K-kak Sheila?!” Yuki memastikan apa yang dilihatnya kini benar. Sheila menoleh. “Kalian belum tidur?”.
Yuki menggeleng. Rasanya, ia ingin segera pergi tidur secepatnya. “Ya…kalau begitu, aku tidur dulu ya, kak,”. Ia segera berlari ke atas. Menuju alas tidurnya dan langsung merebahkan dirinya.
***
“Aku adalah rivalmu, Leon,”
“Rival?”
Ia menebaskan pedangnya ke arah Leon. Leon menghindar. Ia tidak mungkin melawan perempuan. “Siapa kau sebenarnya?”. Leon berusaha menghindar namun tebasan pedang membuatnya terjatuh. Perlahan ia membuka matanya. Seorang perempuan lain.
“Ia yang didekatmu, ia yang selalu ceria dan bersemangat. Percayalah padanya,” kata perempuan itu sambil pergi. Sebagai gantinya, sebuah tangan terulur padanya. “Kau adalah rivalku. Bangunlah,”
“Siapa kau?” tanya Leon.
“Apa itu penting?” tanyanya balik.
“Menurutku iya,”
“Aku adalah rivalmu. Sudah jelas,” jawabnya.
“Apa maksudmu dengan ‘rival’? Kita baru bertemu dan kau telah mengatakan itu,”
“Memang benar begitu, bukan?” Ia menyarungkan pedangnya. “Pulanglah,” katanya lagi.
***
Pagi itu, Yuki mengemas barangnya. Lalu membawanya ke bawah. Ini masih jam enam pagi, kata Sheila, mereka harus menunggu karena ia belum tahu pasti kapan mereka dijemput.
“Lei, mukamu kusut. Padahal, kita mau ngajak anak-anak jalan,” tegur Yuki. “Ada apa? Gak sanggup melepas …,”
“Bukan,” potong Leon. “Tadi malam, aku memimpikan sesuatu. Itu saja,”.
“Yah, cuma mimpi,”.
Kenzo berlari ke arah Leon. Ia melirik tas dan bawaan Leon.
“Kak Leon mau kemana?” tanyanya.
“Kakak mau pulang,” jawab Leon.
“Pulang?” Kenzo menatap Leon penasaran. Leon mengelus kepala Kenzo. “Iya, Ken,”. Kenzo memegang tas ransel Leon. Leon mengambil sesuatu dari tasnya. Pulpen. Tapi bukan pulpen biasa. Ada senter kecil di tutup pulpennya. Ia menyodorkannya pada Kenzo.
“Buat Kenzo,” kata Leon. Kenzo menggenggam benda sepanjang 15 cm itu.
“Kak Leon, kakak akan balik lagi kan?” tanya Leon penuh harap. Leon mengangguk.
Sementara itu, Yuki yang tengah sarapan, juga bicara dengan Rena. “Rena, jangan bikin susah Kak Sheila ya,”
“Kak Yuki mau pulang?” tanya Rena.
“Iya,” jawab Yuki singkat. “Nih buat Rena,”. Yuki memberikan pembatas buku. Yah, semua itu adalah yang terbaik dari tas mereka. Ini semua kan berawal dari camping. Sehingga, kemungkinan untuk membawa barang-barang yang tidak berkaitan dengan camping sangat minim.
Sekitar setengah jam kemudian, terdengar suara deru mobil di luar.
“Pak Sais!”