Senin, 31 Mei 2010

Bab 4

Mata Yuki masih lengket. Rasanya ingin tidur terus. Namun, sepertinya, ini bukan saat yang tepat untuk tidur lagi karena sekarang sudah jam 1 siang. “Haaa…Sekarang udah jam 1?” seru Yuki sambil membuka tendanya. Leon belum kelihatan juga. “Leon, kamu udah bangun?” tanya Yuki. Tidak ada jawaban. Tadinya, Yuki berniat membangunkan Leon supaya meneruskan perjalanan. Tapi, sepertinya Leon masih lelah. Jadi, Yuki membatalkan niatnya. Yuki memakan bekalnya. Perutnya yang kosong kini mulai terisi. Tak lama kemudian, Leon keluar dari tendanya. “Udah makan ya?” tanya Leon. “Udah dong. Ayo, Le. Kita lanjutkan perjalanan lagi,” kata Yuki.
“Ok, tapi tujuan kita kemana, Kapten Yuki?” tanya Leon.
“Ke sana,” Yuki menunjuk jalan yang menurutnya benar. Mereka pun berjalan dengan satu harapan yaitu pulang. Surya menyinari bumi dengan terik. Namun, di pegunungan, suhunya nyaman sekali. Jalan setapak yang mereka lalui seolah tidak ada ujungnya.
“Hauh…Sudah berapa lama kita berjalan? Kayaknya udah 10 kilometer ya?” Yuki mengusap peluhnya.
“Gak tau deh. Mau istirahat dulu, gak?” tanya Leon. Yuki segera berkata, ”Iya”. Mereka duduk kembali. Leon melakukan yang namanya makan siang walaupun sebenarnya terlambat. Yuki hanya duduk. Perjalanan mereka lanjutkan kembali ketika Leon sudah selesai makan. Mereka kembali menelusuri jalan setapak yang mereka tempuh.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah pertigaan. Mereka memilih untuk berjalan ke kanan. Kali ini, jalanannya luas, mungkin muat untuk satu truk besar. Bukan jalan setapak lagi. Tak lama kemudian, sampailah mereka di sebuah pemukiman atau lebih tepatnya desa. Intinya, mereka sudah keluar dari hutan. Seorang nenek-nenek yang tengah membawa hasil pertaniannya, melihat ke arah mereka. Tampaknya bawaan si nenek berat sekali. Jadi, Leon berencana untuk membantu. “Nek, perlu saya bantu?” tanya Leon ramah. “Siapa kamu..? Nenek sepertinya belum kenal…,” jawab nenek dengan pelan. “Saya orang baru di sini, Nek,” jawab Leon, asal. Yuki hanya memperhatikan tingkah Leon. Nenek tersebut segera menurunkan hasil pertanian miliknya. Ia menyodorkan sekeranjang daun teh pada Leon. “Rumah nenek di sana,” nenek menunjuk sebuah pondok. “Terima kasih, sudah mau membantu,” kata nenek lagi. Leon menjalankan tugasnya. Yuki mengikuti dari belakang.
“Ngapain sih, kamu?” tanya Yuki heran. Leon menjawab, ”Bantuin orang,”. Yuki terdiam sesaat namun ia segera menyadari maksud Leon.
Sesampainya di pondok milik nenek, si nenek mengucapkan terima kasih lagi dan menanyakan dimana mereka tinggal. Giliran Leon yang memutar otak karena bingung harus bilang apa. Mereka kan…sebenernya bukan orang baru.
“Kami sebenernya…dari kota, nek” kata Yuki nekat. “I..Iya , nek. Kami dari kota. Tapi, di sini, kami belum dapat tempat tinggal, nek,” kata Leon (yang juga asal). Nenek menggumam. “Mmm… Kalian…,” Nenek terdiam sejenak. “Rumahku sempit. Tapi, aku akan membawa kalian ke tempat yang lebih baik,”
Leon menggeleng. “Gak usah, Nek,”. Tapi si nenek mendesak mereka. Nenek yang bernama Hellen ini mengajak mereka ke suatu tempat yang katanya bisa menjadi tempat tinggal sementara.
“Kamu sih…Ada-ada aja. Kapan kita bisa pulang kalo begini caranya?! “ protes Yuki. “Ya…Aku kan gak tau kalo begini jadinya,” kata Leon pelan. Setelah berjalan beberapa saat, kini sebuah bangunan tampak di depan mereka. Sederhana namun lebih baik dari rumah Hellen. Panti Asuhan. “Nenek tau kalian bukan anak yatim piatu. Tapi, ini adalah tempat paling tepat untuk kalian. Karena, sebagian besar desa ini, hanya memiliki rumah yang kecil,” ujarnya. Ia mengetuk pintu dan munculah seorang wanita yang kira-kira umurnya masih 30 tahun.
“Ada apa, nek?” tanya wanita itu ramah. “Mmm.. Ini, saya menemukan 2 orang ini di jalan. Mereka dari kota, tapi belum dapat tempat tinggal di sini,” jawab Hellen. “Tolong beri mereka tempat untuk beristirahat,”. Hellen berlalu begitu saja.
“Silahkan masuk,” kata wanita itu. Namanya Sheila, seorang pengurus panti asuhan yang baik dan perhatian terhadap anak asuhnya. “Kita memiliki 8 anak asuh. Sedikit ya? Eh, mari aku tunjukkan kamar kalian,”. Leon dan Yuki berjalan mengikuti Sheila menuju lantai 2. Di lantai 2, terdapat 4 buah ruangan. 2 kamar berukuran 1x2.5 meter, yang akan menjadi kamar mereka serta ruangan Sheila dan asistennya. “Aku masih agak sibuk. Jadi…,” ucapan Sheila terpotong. Sebagai gantinya, terdengar suara teriakan anak kecil. “Liu Mei…Jangan nangis…Kakak ke sana ya. Ka, bantuin 2 orang ini, ya…” Sheila langsung ke tempat Liu Mei. Sementara itu, seseorang bernama Raka hadir.
“Namaku Raka. Siapa nama kalian?” tanya Raka. “Aku Yuki. Dia Leon,” jawab Yuki singkat. “Ok. Sekarang, kamu masukkan barang-barangmu ke kamar. Kita makan bareng-bareng di bawah. Cepat ya. Nanti kehabisan loh…,” kata Raka.
Kamar mereka hanya memiliki sehelai kasur bukan tempat tidur seperti yang dimiliki mereka di rumah, sebuah meja dan jendela di sudut ruangan. Mereka menaruh barang-barang di situ, lalu pergi ke ruang makan.
Di ruang makan, telah duduk 8 orang anak yang masih berusia sekitar 6-7 tahun. Kak Raka memanggil Leon dan Yuki. “Sini… Kita makan bersama,”. Selesai berdoa, semua melahap makanannya. Makanannya tidaklah mewah, hanya nasi, tempe, tahu, dan sup ayam. Namun, mereka tetap menghargai itu. “Hari ini, kita kedatangan tamu, teman-teman,” kata Raka. “Siapa, kaaak?” tanya seorang anak. “Ini,” Raka mengenalkan Leon dan Yuki pada semuanya. Mereka terlihat lucu sekali seolah-olah Yuki dan Leon akan menetap di situ dalam interval waktu yang lama.
Setelah mencuci piring masing-masing, anak-anak langsung menghambur. Ada yang bermain, ada yang ke kamarnya. Leon memilih untuk naik ke kamarnya. Ia ingin merenung dan merencanakan bagaimana caranya pulang. Di tangga, ia melihat seorang anak berusaha meraih pijakan tangga dengan kakinya. Anak tangganya memang sedikit tinggi. Leon tadinya ingin membantu anak yang kesulitan tersebut. Namun, anak tersebut, tiba-tiba jatuh di anak tangga kelima. Kontan, ia menangis. Leon segera menghampiri anak tersebut. “Sakiiit… Kakiku sakiiit,” rintih anak tersebut pelan. Heran, tidak ada orang saat itu.
Leon berlari mengambil kotak P3K di kamarnya lalu mengobati anak tersebut. “Makasih, kak…” ucap anak itu. Ia masih kesulitan berjalan, karena itu Leon memapahnya. “Namamu siapa?” tanya Leon.
“Kenzo,” jawabnya singkat. Sampai di lantai 2, Kenzo menuju ruangan Sheila. “Kak Sheila, aku boleh ke sungai, gak?”.
“Boleh dong, Kenzo. Ajak kak Yuki sama kak Leon juga ya…,”. “Yang baru itu ya, Kak?” tanya Kenzo. Sheila mengangguk. Kenzo keluar dan didapatinya Leon menunggu di depan ruangan. “Kak, ayo kita ke sungai. Ajak kak Yuki juga ya…,”
***

Sabtu, 29 Mei 2010

Bab 3

Pukul setengah 7, semua diminta berkumpul untuk acara api unggun. Api yang dinyalakan bukan sekedar api biasa. Api unggun kali ini, suasananya seolah menyatu dengan alam hutan. Nyanyian, tarian, dan performance yang dipertunjukkan melengkapi keceriaan saat itu.
Pukul 8 malam semua berkumpul kembali di tepi hutan. Suasana perlahan menjadi tenang. “Kita akan uji keberanian dengan menyusuri hutan ini. Kalian berjumlah 60 anak jadi tidak mungkin satu persatu. Jadi, kalian akan diundi untuk memilih pasangan. Di sini, sudah ada box yang berisi kertas yang telah dituliskan angka-angka. Kalian ambil kertasnya. Angka yang sama akan menjadi pasangan. Tidak hanya itu, angka itu juga merupakan urutan kalian. Mengerti semuanya? Sekarang satu persatu, ambil undian kalian,”. Mereka mulai mengambil undian. Leon melirik kertas undiannya yang masih dilipat rapi lalu membukanya perlahan. Nomor 10.
“Le, siapa pasanganmu?” tanya Xander. Pertanyaan Xander dijawab dengan kata tidak dan Leon melontarkan pertanyaan balik. "Kamu?"
“Itu…Si Anne,” tunjuk Xander pada Anne yang sedang bercengkrama dengan gank nya. “Cepat cari pasangan kamu. Nanti Pak Adam keburu memanggil kamu,” Leon mengangguk. Leon berjalan perlahan mendekati rombongan 9-3. Tiba-tiba seseorang memanggilnya.
“Ketua kelaaaass…Nomor berapa?” tanya Aya. Leon menunjukkan kertasnya. “Yah.. bukan nomor 5 nih… grrr…siapa sih yg nomor 5…,”.

“Yuki, kamu udah dapet pasangan?” tanya Aya. “Mm..belum,” jawab Yuki. Aya menanyakan nomor Yuki. Yuki pun menunjukkan nomornya.
“Wuah, Yuki…Kamu beruntung banget,” seru Aya dengan muka cerah.
“Kenapa?”
“Kamu pasangan ketua kelas…,” jelas Aya sambil tersenyum. Yuki mengerutkan keningnya. “Trus kenapa?”
“Ah…Kamu cewek paling ber-un-tung. Yuk, cepat temui ketua kelas sebelum Sir Adam memanggilmu. Kamu urutan ke-10 kan. Ini udah urutan 7 loh,” kata Aya. Yuki segera menghampiri Leon. Ia segera melirik kertas yang dipegang Leon. “Wah, aku sama ketua, nih…,” kata Yuki kepada Leon. Leon pun melihat kertas Yuki. Beberapa menit kemudian, mereka pun dipanggil.
“Nomor 10, kesini,”. Yuki dan Leon pun menghampiri Sir Adam. “Kalian sudah bawa tas dan senter kalian?” tanya Sir Adam. Yuki dan Leon mengangguk. Sir Adam menyodorkan selembar kertas yang ternyata adalah peta rute perjalanan kepada Leon. “Jangan sampai hilang, ya. Ini peta kalian,”. Yuki merasa gugup. Leon pun begitu. Sesaat lagi, mereka akan menyusuri hutan yang lebat, yang penuh dengan misteri alam. Sir Adam memberi aba-aba untuk masuk. Mereka pun menjalani itu.
Masih ingat tantangan Yuki? Ia harus berperang melawan angin karena tidak bawa jaket. Setelah beberapa menit perjalanan, Yuki mulai menggosokkan tangannya untuk menghangakan diri. Beberapa pertigaan dan perempatan mulai muncul. Mereka segera melihat peta mereka. Pertigaan pertama. “Belok kiri, kan?” tanya Leon sambil menunjuk peta. Yuki mengiyakan. Mereka berjalan kembali. Tak terasa, mereka telah berjalan cukup jauh. Leon merapatkan jaketnya yang berwarna hitam. Sementara Yuki, masih bertahan. Dalam hati, Yuki memaki dirinya sendiri, “Kenapa aku bisa lupa bawa..! Grr..Yuki payah..Yuki payah!”
“Gak pake jaket?” tanya Leon. Yuki menggeleng lemah namun Leon dapat membaca perasaan Yuki. Ia melepaskan jaketnya lalu mengulurkannya ke Yuki. “Nih,”. Awalnya Yuki menolak. Tapi karena keadaan yang tidak memungkinkan, akhirnya Yuki mengenakan jaket Leon juga. Mereka berjalan lagi. Supaya tidak bosan, mereka berbincang-bincang.
“Le, kamu pendiam banget ya,” kata Yuki.
“Ah…Abis, aku sering gak tau apa yang mau diomongin,” jawab Leon.
“Kalo ada topik pun, kayaknya kamu lebih banyak mendengar. Misalnya, sama Xander.”
“Memangnya sekarang aku lagi apa? Aku sering bicara juga kok. Xander aja yang kebanyakan ngomong. Selalu deh, yang mau aku bicarain, keburu diucapin sama dia. Haha,” kata Leon sambil tergelak.

Mereka pun mulai lelah dan duduk di bawah sebuah pohon. “Kayaknya, peta setiap pasangan beda-beda ya,” Yuki merentangkan tangannya. “Mungkin,” jawab Leon. 5 menit kemudian. Mereka melanjutkan perjalanan. Sampai di sebuah perempatan, mereka melihat peta mereka. “Lah, setelah pertigaan ini kan, gak ada perempatan lagi,” ucap Yuki. Leon menyipitkan matanya. “Iya, kamu bener. Kayaknya, kita salah jalan,” kata Leon.
“Jadi, kita balik?” tanya Yuki. Leon mengangkat bahunya. “Ah, jangan gitu, Le. Kita jadi harus gimana?”. Leon akhirnya berkata,”Aku pikir kita harus balik. Tapi, kalau ternyata itu bukan jalan yang tepat, aku gak bisa ngapa-ngapain lo, ya,”. Yuki mendesah. “Kita harus coba,”.
Mereka pun kembali. Namun, setelah berjalan, berjalan, dan berjalan..jauh sekali, pada akhirnya, mereka cuma menemui kata “tersesat”. Badan mereka serasa lemas. Lemas sampai mereka rasanya tak sanggup untuk meneruskan perjalanan mereka lagi. “Jadi…,” kata Yuki terbata. “Bawa handphone, gak?” tanya Leon. “Aku gak mungkin bawa. Kalaupun bawa, pasti udah disita sama Miss Chelia. Kita sekarang harus gimana nih…,” suara Yuki mulai bergetar. Yuki mengigit bibirnya. Rasa takut, bingung, dan sedih bercampur menjadi satu. Mereka mulai berteriak. Siapa tahu, ada yang mendengar teriakan mereka. Namun, usaha mereka sia-sia.
“Tenang, Yuk. Aku juga sama kayak kamu. Jadi sekarang, ada 2 pilihan. Mau terusin perjalanan malam ini atau besok?” Leon berbicara dengan halus. Yuki hampir terisak. Namun, ia menahan tangisnya (Bayangkan saja jika kau menangis di depan ketua kelas mu. Ew, memalukan.). “Ok.Kita berkemah di hutan yang mengerikan ini. Dan, besok kita lanjutkan,” kata Yuki.
Leon dan Yuki membangun tendanya masing- masing. Saat itu, arloji mereka menunjukkan pukul 11 malam. Tanpa dikomando, setelah tenda selesai, mereka langsung tidur.

Sementara itu, para guru mulai khawatir. “Masih ada 1 pasangan yang belum kembali, Miss,” kata Sir Adam. “Ya, Leon dan Yuki. Ada apa dengan mereka ya.. Saya mulai takut..,” jawab Miss Chelia parau. Nadanya sedih sekali.
Beberapa guru mulai melakukan pencarian. Mereka masuk ke dalam hutan dan mencari Leon dan Yuki. Namun, hasilnya nihil. Mereka tidak ditemukan.
Murid dan Guru merasakan kesusahan masing-masing. Besok, pasti ada kesusahan tersendiri. Pasti.

Jumat, 28 Mei 2010

Bab 2

“Le, besok kamu camping, kan? Kok, belum siap-siap, sih? Nanti pakai tas apa? Gak mungkin bawa koper kan?” Pertanyaan mama menunjukkan bahwa mama saat itu butuh penjelasan Leon secepatnya.
“Aku kan punya tas besar, ma. Tapi masih di gudang,” jawab Leon.
“Pak Sais, ambilin tas Leon di gudang, ya Pak,” perintah mama kepada Pak Sais segera dijalankan Pak Sais. Namun, Leon mencegat Pak Sais. “Aku aja, Pak,”
Gudang di rumah Leon terletak di dekat garasi. Pengap dan berdebu. Leon menutup hidung dan mulutnya rapat-rapat. Tas Leon terletak di tengah gudang, sehingga perlu usaha untuk mengambilnya. “Ah, “ Leon bernafas lega saat keluar dari gudang. Tas hitam besarnya masih terbungkus plastik bening (yang kini berdebu). Ia segera membawanya ke dalam rumah.
“Ma, nih tas Leon,” Leon memperlihatkan tas besar yang didapatnya dari gudang tersebut. "Masih bagus." kata mama. Leon melepas lapisan plastik yang membungkus tas tersebut lalu membawa tas tersebut ke kamarnya.
"Kamu beli makanan sendiri ya. Nih uang buat jajan,” Mama menyodorkan uang 50.000 kepada Leon. Leon beranjak ke MiniMarket yang terletak di dekat rumahnya. Ia segera menuju ke lorong mi instan gelas. Makanan ini memang paling praktis karena cukup diseduh air panas. Lalu, lorong biskuit dan permen, serta lorong minuman. Uang 50.000 nya masih tersisa. Ia pun pulang ke rumah.
Malam harinya, tepatnya jam 7, Leon masih sibuk mengemas barang-barangnya. Keiko, kakaknya, menghampiri Leon. “Butuh bantuan?” Leon mengangguk.
“Mmm..Gak bawa Handphone?” tanya Keiko. Leon menggeleng. “Miss Chelia tidak mengizinkannya,”.
Keiko kembali memasukkan barang-barang Leon seperti senter, tali, dan lain-lain. Ia terpaku pada kotak P3K yang akan dibawa Leon. “Le, buat apa kotak itu?”
“Aku kan anggota UKS, jadi harus bawa. Hahaha…,” jawab Leon sambil cengengesan. “Jangan kangen ya, selama aku pergi camping,”
“Gak bakal !”
Leon segera pergi tidur saat ia selesai mengemas perlengkapannya. Besok akan menjadi hari yang baru dan…takkan terlupakan.

Pukul 8 pagi semua murid kumpul di kelasnya masing-masing. Kelas menjadi sedikit ramai karena sibuk membicarakan camping. Namun, semua keramaian itu berhenti ketika Miss Chelia, sang wali kelas memasuki ruangan. Suasana mendadak hening.
“Xander” panggil Miss Chelia.
“Hadir,” jawab Xander. Miss Chelia mengabsen murid-muridnya. Setelah mengabsen, Miss Chelia melakukan pemeriksaan tas. Beberapa murid terlihat memucat saat tasnya diperiksa. Apalagi ketika banyak barang elektronik, mainan, dan uang telah berpindah ke tangan Miss Chelia. Padahal, dari awal sudah diperingatkan untuk tidak membawa benda-benda tersebut.
“Barang-barang ini,” Miss mengangkat handphone salah satu anak. “Akan dikembalikan saat kalian pulang. Sekarang semua yang mau ke kamar kecil, pergi. Karena di jalan, kita tidak akan berhenti. Mengerti?” Sebagian besar segera melarikan diri ke kamar kecil. Leon mencuci tangan dan membasuh mukanya yang masih mengantuk sehingga segar kembali.
Ada 3 bus, yaitu 9-1, 9-2, dan 9-3. Total anak yang ikut berjumlah 60 anak dan semua segera masuk ke dalam bus. Leon dan Xander menempati kursi baris ketiga dari depan. “Yaa..Udah ada orang,” kata Yuki kecewa saat melirik baris ketiga telah diduduki Leon dan Xander. “Di baris kedua aja yuk,” usul Aya. Yuki dan Aya segera duduk di baris kedua.
Selama di perjalanan, beberapa anak tertidur. Leon membaca buku yang dibawanya semetara Xander tengah memandang ke arah jalanan. Yuki asyik memakan makanan ringan sambil berbincang dengan Aya.
“Kemaren, kamu jatuh gara-gara Anne,” kata Aya.
“Masa sih?” Yuki menanggapinya dengan santai.
“Iya, bener. Kemaren aku lihat sendiri, dia meletakkan kakinya di jalur lari kamu,”
“Oh..,” jawab Yuki meneguk jus jeruknya. “Trus?”
“Jadi, kamu jatuh. Pas kamu ke UKS, dia sama geng-nya ketawa cekikikan. Huh!“
“Mmm…Begitu…,” Yuki mengangguk-anggukan kepalanya.
Sekitar 2 jam kemudian, bus mulai memasuki daerah pegunungan. Suhu pun turun menjadi sedikit dingin. “Sabar ya, 20 menit lagi,” kata Miss Chelia pelan. Tiba-tiba, Yuki tersentak. “Aku lupa bawa jaket !”
“Ha? Gak bawa jaket? Aduh, kamu ada-ada aja…Duh, dingin lagi,” kata Aya sambil mengenakan jaketnya dengan erat. “Gak apa-apa lagi, Aya. Aku kan cuma bilang lupa bawa. Gak berarti butuh kan?” kata Yuki. “Hah, terserah kamu, Yuk,” Aya menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Yuki memang mulai kedinginan. Tapi, bagi Yuki, ini adalah suatu tantangan yang harus ia hadapi. Brr..brrr…*dingin*

Bus berhenti di pinggiran hutan. Sesi pertama dimulai. Sir Basil memulai sesi dengan membawakan renungan tentang menjadi seorang pemimpin yang baik. Tak seperti yang diharapkan, semua tampak malas dan mengantuk. Setelah sesi yang membosankan itu, ada sesi fun games. Permainan yang terpilih untuk dimainkan adalah permainan yang tidak asing lagi yaitu tarik tambang. Anak laki-laki main duluan. 9-1 melawan 9-2 dan pemenangnya melawan 9-3. Anak 9-1 memang tangguh. Dalam 30 detik, mereka mampu mengalahkan 9-2.
“Leon, ayo ikut !” ajak Rezie. Leon sedang agak lelah saat itu. Namun Xander dan Rezie malah menarik tangannya.
“Ayo ikut, Le. Kita 9-3. Harus solid dong,” kata Xander. Leon pasrah. Leon memilih tempat di paling belakang, tempat yang mengharuskan pemain menarik lebih kuat daripada yang di depan padahal sebenarnya, maksud Leon adalah supaya tidak terlalu menjadi pusat perhatian. Kesulitan Leon dimulai sejak wasit memulai permainan. Detik-detik awal, Leon menarik dengan kekuatan biasa. Namun, keadaan menjadi tegang ketika tim 9-1 menarik dengan kuat. Kini, 9-1 hanya membutuhkan 3 cm lagi untuk menang. 9-1 nyaris menang. Nyaris. Bayangkan, ketika kemungkinan menang mereka hanya 0,01%, tim 9-3 terbakar semangatnya. Leon mengerahkan seluruh kekuatannya. Tak dipungkiri, akhirnya…9-3 menang ! Semua langsung menyentakkan tambang yang sedari tadi diperjuangkan susah payah lalu melompat girang. “9-3 menaaaaaang!!” Xander sepertinya merasa girang sekali. Rasa senang Leon tidak dapat ditutupi. Ia tersenyum dan tertawa bersama teman-teman yang lain sekalipun telapak tangannya berdarah. Mungkin karena terlalu kuat menarik tambang yang kasar, ya (pengalaman nih.. :P). Tapi, bagi Leon, itu bukanlah hal yang besar. Dia langsung mengobatinya sendiri.
Selanjutnya, giliran anak perempuan yang main. Kali ini, sepertinya 9-3 terdesak. 9-3 cuma mendapat juara 2. Tapi semua terlihat senang. Saatnya pembagian hadiah. Leon, sebagai ketua kelas, diminta mewakilkan teman-temannya untuk penyerahan hadiah. Miss Chelia membagikan bingkisan berupa satu dus binder file untuk juara 1 tim (isinya 10 buah) laki-laki serta satu dus biskuit untuk juara 2 tim perempuan (kali ini 20 bungkus). Setelah penyerahan hadiah, semua anak 9-3 langsung mengerubungi Leon seperti semut-semut yang melihat bola permen. Leon pun segera membagikan bingkisan-bingkisan tersebut kepada anggota kelas. Miss Chelia cuma bisa berdecak kagum ketika memandang anak muridnya.
Waktu berlalu cepat, kini matahari mulai membenamkan dirinya di ufuk barat. Pemandangan terlihat indah dan temperatur makin menurun. Maklum, kan daerah pegunungan. Semua menyantap hidangan makan malam yang disediakan pihak sekolah. Ada ayam goreng, sup ayam, dan makanan lezat lainnya.Setelah itu, mereka harus mencuci piring masing-masing karena di sini, mereka diajar untuk mandiri. Mereka juga tidak sabar menunggu malam karena acaranya pasti akan lebih seru dan menantang.
***

Kamis, 27 Mei 2010

Bab 1

Leon mendesah. “Mam, jangan ganti channel-nya. Aku masih nonton,”. Leon tidak digubris mama yang sekarang sibuk menonton acara favoritnya.
“Leon, kamu kan udah nonton dari tadi. Gantian, sekarang shift-nya mama,” ujar mama santai. Leon memilih untuk mengalah. Berdebat dengan mama, tidaklah menyenangkan. Ia punya seribu gudang alasan dan kata-kata yang dapat membuatmu kalah berdebat.
“Lebih baik, kamu belajar, Le. Biar makin pintar, biar bisa ngalahin sainganmu itu,” kata mama lagi. Leon terdiam di tempatnya. Ia sedang tidak punya mood untuk belajar.
Mama sangat senang menonton acara “Rising Sun”. Jadi, didalam acara itu, seorang reporter akan menemani seorang warga miskin yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dan, di akhir acara, si reporter akan memberi sumbangan dalam bentuk kebutuhan sehari-hari dan lain-lain. Mama sering nonton acara itu. Bahkan ia sering menitikkan air mata terharu ketika menyaksikan, betapa besar pengorbanan orang-orang yang ada di luar sana untuk bertahan hidup. Kali ini, Leon memilih untuk menonton itu. Dibandingkan hanya duduk dan melamun.
***

Keesokan harinya, di sekolah, Miss Chelia mengumumkan sesuatu. Kegiatan penting bulan ini. Camping untuk kelas 9.
“Ini kegiatan wajib dan kata Sir Adam, camping ini juga untuk ambil nilai IPA,” tutur Miss Chelia sambil membagikan lembaran yang berisi pemberitahuan. “Kasih lembaran itu ke orang tua kalian, ya. Jangan lupa,” Miss Chelia kembali mengingatkan. Leon segera memasukkan kertas tersebut ke dalam tasnya.
Hari itu ada pelajaran olahraga tepatnya bola basket. Jadi hari ini adalah hari yang menyenangkan untuk Leon yang sudah menganggap permainan basket adalah belahan jiwanya. Karena itu, ia berlatih sehingga sekarang ia bisa menge-shoot dari tengah lapangan dan passing dengan sempurna. Senyum Miss Henna, sang guru olahraga mengembang. Angka 9 tertulis di sebelah nama Leon.
“Nice play, Le,” kata Xander.
“Thanks,” sahut Leon.
Kini, giliran anak perempuan yang main. Yuki yang tidak terlalu mahir dalam bermain basket, memasuki lapangan dengan kepala tertunduk. Basket adalah salah satu titik lemah Yuki. Namun, Yuki tidak mudah putus asa dan ia berjuang untuk bisa basket. Mulai dari meminta kakak laki-lakinya, Yuuya, untuk mengajarkannya sampai les basket. Tidak sampai 1 bulan, ia berhenti karena menurutnya les basketnya tidak lagi menyenangkan.
Seorang bernama Sonna berjalan dengan angkuh ke arah teman-temannya yang sudah berada di lapangan. Dari kelas 7, perasaan iri kepada Yuki telah tertanam di dalam tanah hatinya. Ia akan melakukan apa saja supaya gelar perfect girl lepas dari tangan Yuki. Kali ini, sebagai tim lawan, ia mempunyai rencana yang cukup matang untuk Yuki.
Miss Henna melakukan jump ball. Bola dengan cepat berpindah ke tangan Aya. Aya men-dribble bola namun, ia dihadang tim lawan. Bola pun melayang ke arah Sasha. Sasha dengan sigap menangkap dan membawa bola. Kembali, ia dihadang. Yuki menjadi target lemparan Sasha. Kini Yuki memegang bola. Ia mencoba melakukan shoot dan…Masuk ! 1-0..untuk tim Yuki.
“Yuki…Keren banget…” puji Sasha.
“Makasih…” Yuki tersenyum. Jarang sekali bola basket bisa masuk ke dalam ring bila dilempar Yuki. Namun kali ini, Yuki berhasil.
Permainan berjalan kembali. Misha mengoper bola ke Anna, namun Aya dapat menebak alur bola itu dan Aya langsung merebut bola dan meluncurkannya ke arah Yuki. Timbul pikiran licik Sonna. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang baik untuk mencelakai Yuki. Dengan sengaja, ia meletakkan kaki tepat di jalur lari Yuki. (Aku yakin kau tahu apa yang akan terjadi kemudian). BRUUK ! Yuki terjerembab di lapangan. Sontak semua menoleh ke arah Yuki yang kini penuh dengan luka. Kakinya memar dan berdarah, tangannya lecet. Priiit ! suara peluit berbunyi nyaring.
“Tim Sonna—Foul !” seru Miss Henna. Sonna menahan tawanya. Ia terlihat puas sekali melihat Yuki. Ia sengaja memasang tampang menyesal dan bersalah. Yuki mengendalikan diri untuk tidak mengeluarkan air mata. Ia cuma meringis dan kini ia berusaha berdiri.
“Siapa disini ikut tim UKS ?” tanya Miss Henna.
“Le,..” panggil Xander. “Miss Henna memanggilmu,”. Leon yang sedari tadi melamun, kini tersadar. Leon segera menghampiri sang guru olahraga.
“Ada yang perlu saya bantu, Miss?”
“Le, bantu Yuki. Bawa dia ke UKS segera,” Leon mengangguk. Pandangannya kini tertuju pada Yuki. Yuki melihat sebuah tangan terulur padanya. Tangan seorang ketua kelas yang siap membantu. Yuki menengadah.
“Perlu kubantu?” tanya Leon. Yuki mencoba berdiri seraya menahan sakit. “Mmm..Mungkin,” kata Yuki serak. Yuki bisa berdiri, namun jalannya yang terpincang-pincang, tidak memungkinkan dia ke UKS sendirian. Karena itu, Leon memapahnya menuju UKS.
Di UKS, Yuki duduk di tempat tidur UKS. Ruangannya nyaman dan sejuk. Leon membuka lemari kaca yang terletak di sudut ruangan. Lemari yang berisi berbagai macam obat yang mampu menyembuhkan penyakit. Ia mengambil alkohol, obat merah, kapas, kassa, dan band aid. “Berikan tanganmu,”
Yuki mengulurkan tangannya. Leon membersihkan semua luka Yuki. Lalu, dengan hati-hati,ia memberikan obat merah serta band aid. “Bisakah kau ceritakan bagaimana kau bisa jatuh,” kata Leon. Yuki mengangkat bahunya.
“Mmm…Apa kau tidak melihatnya tadi? Well, aku berlari, lalu aku terjatuh,” jawab Yuki. Leon melanjutkan pekerjaannya lagi.
“Terima kasih,” kata Yuki. Leon segera mengajak Yuki keluar dari ruangan UKS. Mereka keluar dan kembali ke lapangan. Miss Henna menanyakan keadaan Yuki.
“Yuki, gimana..udah baikan?”
“Udah, Miss,”
“Hah, kita nonton teman-temanmu main basket aja ya, Yuki,” ujar Miss Henna pelan. Miss Henna dan Yuki duduk di tepi lapangan.
“Leooon...,”panggil Xander. Muka Xander kelihatan lesu. “Ini final. Tapi kita masih kurang 6 angka untuk menyamakan kedudukan”. Xander dan temannya, Rezie menarik lengan Leon lalu mereka menyodorkan bola pada Leon. "15 menit memang waktu yang sedikit. Tapi, kita yakin kok. Kalo ada kamu, kita pasti bisa. Tim kita bergantung sama kamu,".
Leon menghela nafas sejenak. Sedetik kemudian, ia mengoper bola ke Xander. Pelan. Xander menerimanya lalu men-dribble bolanya. 3 orang menghadangnya dan ia langsung mengoper ke Rezie. Rezie mengoper ke Leon. Leon menerima bola itu. Ia mencoba memasukkan bola ke ring. Leon mengharapkan 3 poin untuk lemparan ini. Harapannya menjadi kenyataan. Blasst! Masuk. Xander menepuk pundak Leon. “You’ve made it, Leon,”.
Menit-menit terakhir, Xander dan Leon memasukkan bola. Kemenangan pun berpihak pada tim Leon. Xander menunjukkan mukanya yang ceria sekali. Leon cuma tersenyum memandang kawan-kawannya menyerukan kata, “Yes!” di tengah lapangan.
Teng teng teng…Bel pergantian pelajaran bernyanyi dengan nyaring. Semua anak kelas 9-3 pun segera mengganti baju dan kembali ke kelas mereka.
***

Pro-Log

Huft… Lagi nonton TV… malah diganti channel-nya…
Apa gak bisa pakai TV lain, Mam?
Yeah, dia benar-benar gak sadar telah merebut remote TV dan mengganti channel yang kutonton. Ia suka sekali tayangan mengenai orang yang membutuhkan bantuan, anak-anak panti asuhan. Pokoknya, serba menyentuh. Kupikir, apa artinya nonton acara-acara seperti itu. Bahkan, ia menitikkan air mata saat menyaksikan seorang yang tua renta menerima sumbangan dengan sangat amat bahagia. Yah, memang mengharukan, tapi Mam, gak usah nangis gitu…
Oh iya, kita belum kenalan. Namaku Leon Wibowo. Umurku 14 tahun. Aku bersekolah di SMP Anzu kelas 9-3. Keiko adalah kakakku. Umurnya setahun lebih tua. Orangnya asik. Mungkin karena kami sama-sama cowok, ya.
Sebenarnya aku anaknya pendiam, agak dingin, dan pintar. Bukan sombong loh, tapi semua temanku bilang begitu. Kalo soal fisik, jangan tanya aku, ya. Tanya sama teman-temanku aja. Aku suka membantu orang lain. Ini juga gak bermaksud sok. Kalian harus coba yang namanya bantuin orang. Aku senang banget bantuin orang, apalagi melihat orang yang kita bantu merasa bahagia, aku pun ikut merasa bahagia. Aku juga ikut tim Usaha Kesehatan Sekolah. Jadi, aku bisa bantuin temanku yang sakit.
Menyangkut soal sekolah dan tingkat intelegensi, aku punya saingan di sekolah. Seorang anak perempuan bernama Yuki. Jujur, orangnya pintar. Entah, kami ditempatkan satu kelas. Dan, tahun ini, tahun terakhir di SMP, akan menjadi pertarungan final kami. Waktu kelas 7, dia juara satu, aku juara dua. Waktu kelas 8, yang terjadi adalah kebalikannya. Nah, sekarang kelas 9…Kira-kira, siapa yang pantas menyandang gelar juara 1 ? Mmm, tapi yang penting sekarang adalah belajar. Itu aja.
Yuki berbeda denganku. Orangnya periang dan (hampir satu kelas, baik laki-laki maupun perempuan mengakui) dia adalah perfect girl. Seseorang disebut perfect jika dia punya 4 poin. Physic (harus keren), Inteligent (pintar), Economy (kaya), dan Attitude (baik). Banyak temen-temenku yang naksir dia. Tapi, aku sama sekali gak tertarik dengan urusan percintaan. Karena fokusku sekarang hanya satu—mengalahkan sainganku.
***

Memulai World Beside Us

Hwhw, aku udah mencoba berulang-ulang yg namanya nulis. Tapi gak bisa-bisa. Tiba-tiba aja ada ide melintas. Ide itu membangkitkan aku untuk menulis kembali. Memang, imajinasi itu, kadang gak masuk akal. Tapi, i always keep fighting for that... Doain semoga berhasil ya..

-wxp :)