Kamis, 10 Juni 2010

Bab 6

Pukul setengah 6 pagi. Fajar menyingsing dan kabut pegunungan turun. Suhu perlahan-lahan menurun. Yuki terbangun dari tidurnya. “Hmmph,” gumamnya. “Jam 5,”.
Ia termenung, melihat sekelilingnya. “Haaah…Aku masih di balkon?” tanyanya dalam hati. Ia masuk ke dalam. Semua kamar terkunci dengan rapat kecuali kamarnya. Ia menuruni tangga dan keluar panti. Menapakkan sepatunya di aspal. Dilihatnya para penduduk sekitar bermunculan. “Anak muda, he..masih ingat aku?” tanya seseorang dari kejauhan. Yuki menyipitkan matanya. “Nenek Hellen?!”.
Hellen mengajak Yuki ke suatu tempat. “Karena kau sudah rajin bangun pagi, kuberi hadiah,” katanya. “T—tapi,” Yuki terbata. Hellen menyuruh Yuki untuk diam. Mereka menuju suatu tempat. Beberapa menit kemudian, sebuah panorama alam yang indah terpampang jelas di depan mata mereka. “Air terjun?” Yuki ternganga. “Basuh kaki, tangan, dan mukamu di situ kalau berani,” tantang Hellen. Yuki yang merasa penasaran, menerima tantangan itu. Slush ! Tanpa basa-basi lagi, dia memasukkan kakinya ke air. Kini, kakinya serasa membeku seperti air yang berubah menjadi es di temperature 0 derajat celcius. Yuki menarik kakinya keluar dari air yang barusan membuat ia terkejut. Airnya dingin sekali. Hellen menahan tawanya, memandang Yuki yang tengah sibuk menghentak-hentakkan kakinya. “Aah, nenek,” Yuki ikut tertawa.“Ayo kita balik,” ajak Hellen yang puas mengerjai Yuki.
“Kak Leooooon! Bangun kak,”
Mimpi Leon hilang tiba-tiba. Sebagai gantinya, kini Kenzo berada di hadapannya. “Ah, Kenzo. Jam berapa nih, Ken?” tanya Leon dengan mata setengah mengantuk. “Jam 6, kak,” jawabnya. Leon mengucek matanya, lalu keluar dari kamar. Kamar Yuki yang terbuka membuat Leon ingin tahu dimana Yuki sekarang. Leon melahap sarapannya.
Yuki pulang ke panti ketika semua sudah selesai sarapan. “Kak Yuki…,” panggil Rena. “Ada apa, Rena?” tanya Yuki sambil mencubit pipi Rena. “Kakak kemana aja? Udah makan, Kak?” tanyanya. “Baru aja kakak mau makan,” Yuki melangkahkan kakinya ke ruang makan. Liu Mei menyambutnya hangat di ruang makan. Ia mendorong kursi rodanya ke arah Yuki lalu memberikan sepiring nasi goreng pada Yuki. “Terima kasih,” ucap Yuki sambil tersenyum. Nisha ikut makan bersama Yuki. Cara makannya tidak beraturan sehingga remah-remah nasi berceceran di meja.
Yuki mengambil piring Nisha. Disuruhnya Nisha duduk, lalu secara perlahan ia menyuapi Nisha. Untunglah, Nisha yang penurut, mau makan sampai habis. Sebenarnya ini tugas Sheila. Namun, sampai pagi ini, Sheila belum menampakkan batang hidungnya juga. Sedangkan Raka, ia hanya menyiapkan sarapan, lalu pergi entah kemana. Tapi, kehilangan mereka tidak berlangsung lama. Seperempat jam kemudian, mereka menampakkan lagi wajahnya di panti. Ekspresi mereka khawatir akan anak-anak panti. Namun, mereka bernafas lega tatkala melihat semua sudah sarapan.
Tengah hari, Leon dan Yuki menemui Sheila di ruangannya. Pamit pulang. Sheila tersenyum. “Sebenarnya, kalian gak perlu jalan,” ujarnya. Leon heran. “Maksud kakak?”.
“Dari kemarin, saya dan nenek Hellen udah mengirim surat ke kota, tentang kabar kalian dan denah panti ini. Kami pakai alamat yang ada di kartu nama Leon yang terjatuh. Kami pun sudah dapat balasannya, kalian akan tinggal di sini sampai mereka menjemput kalian,” jawab Sheila.
“Kak Sheila tahu kapan kita dijemput?” tanya Yuki. Sheila mengangguk. “Tentu. Saya akan kabarkan kalian malam sebelumnya,”. Kini, hanya ada satu pertanyaan dalam benak Leon. Mengapa Leon malah disuruh tinggal di sini padahal Pak Sais bisa menjemput Leon hari ini juga?
“Kak Leon…Ke sini, deh,” suara seseorang terdengar dari depan panti. “Kenzo,” gumam Leon. “Kak, aku menemani Kenzo dulu. Terima kasih. Permisi,” setelah berbicara seperti itu, Leon keluar dari ruangan Sheila. Yuki memilih untuk mengikuti Leon. Ternyata, kedelapan anak sudah berkumpul di depan panti.
“Kak Yuki ikut?” Rena memiringkan kepalanya sambil menatap Yuki. Yuki mengangguk. “Semuanyaa, kita akan berpetualang. Ayo berbaris!” kata Wins lantang. Dua banjar laki-laki dan perempuan terbentuk. Leon dan Yuki memilih tempat di belakang. Abi dan Miya memimpin barisan. Mereka memegang kertas yang berisi “rute perjalanan”.
“Majuu,” seru Abi. “Ok, kapten,” sahut anak-anak lain. Mereka pun memulai perjalanan mereka. Yuki mendorong kursi roda Liu Mei.
“Kita sampai di rumah seorang yang lembut dan baik. Nenek Hellen,” kata Abi. Hellen keluar dari rumahnya. “Oih…Anak panti dan 2 orang muda. Mau mampir?” Nenek Hellen menyambut jejeran pasukan cilik tersebut dengan senyuman. “Tidak, nenek. Kami akan melanjutkan petualangan kami ke tempat lain. Terima kasih, nenek baik…,” ucap Miya.
Target selanjutnya, kedai mi rebus. Seorang bernama Carter keluar. Ia adalah pemilik kedai yang berumur 30 tahun. “Mau mi apa?” tanyanya. “Kita tidak mau makan. Kita mau berpetualang ke tempat yang lain,” jawab Lyner. “Dadah..Pak Carter,” Wins melambaikan tangannya.
Sudah beberapa tempat mereka lalui. Sampailah di sungai. Kenzo menoleh ke arah Leon sambil mengedipkan mata kanannya. Leon mengangkat jempolnya. Semua pun menceburkan dirinya ke sungai kecuali Liu Mei dan Yuki. Mereka hanya di tepi sungai sambil menatap teman-teman lain yang kini bermain di sungai. Baju mereka kuyup sekali.
Di tengah asyiknya suasana itu, tiba-tiba langit menggelap dan…titik titik air menjatuhkan dirinya ke bumi. Semua segera berlari pulang.
Hujan yang agresif, kini mengganas. Sampai di panti, semua langsung melarikan diri ke kamar mandi. Selesai membersihkan diri, hujan perlahan menghentikan produksi airnya. Sebagai gantinya, sebuah pelangi hadir. Di balkon panti, semua berkumpul dan menyaksikan keindahan langit saat itu. Kagum, senang, dan bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar