Sabtu, 10 Juli 2010

Bab 8

“Kak Leon, sini deh. Bantuin aku,” suara Kenzo terdengar dari sudut dapur. Piring-piring makanan yang kotor, tersusun di depan Leon. “Cuci piring, kak,” lanjut Kenzo. Mereka pun melakukan apa yang harus dilakukan. Sebelumnya, Leon sangat jarang mencuci piring. Biasanya ada pembantu di rumah. Tapi kini, demi membantu kawan kecilnya, Leon pun mengerjakan hal itu. Tak lama, kerjaan itu pun beres. Masih pukul 8 malam dan uniknya, aktivitas saat itu adalah cerita sebelum tidur di sebuah ruangan yang mereka sebut ruangan belajar. Ada sebuah meja bulat di tengah, namun tidak ada kursi di sana karena semua duduk di lantai. Hari itu adalah cerita tentang Cinderela. Suara Sheila yang lembut membacakan cerita dengan ekspresif dan intonasi yang membuat anak-anak menjadi tidak bosan.
“Cinderela pun sedih karena tidak bisa pergi ke pesta. Ia menangis. Namun seorang peri yang baik hati, datang dan berkata pada Cinderela, ‘Bangunlah, Cinderela. Ambilkan aku 4 ekor tikus, seekor kucing, dan sebuah labu,’. Cinderela pun melakukannya. Dan…Cring… Sang peri mengubah tikus menjadi kuda, kucing menjadi kusir, dan labu menjadi kereta yang idah sekali. Cinderela pun kini mengenakan gaun yang sangat indah…,”
Cerita yang berakhir dalam waktu 20 menit itu membuat beberapa anak tergugah. Di akhir cerita ada sesi tanya jawab. Setelah itu, semua pun beranjak ke kamar tidur masing- masing. Sheila memanggil Leon dan Yuki. “Ralat dari nenek Hellen, kalian akan berangkat besok. Bukan lusa. Itu saja. Selamat tidur,”. Sheila berlalu begitu saja. Kini, yang tersisa hanyalah mereka.
“Haaah. Akhirnya, aku bisa bertemu teman-teman,” kata Yuki. “Tapi kenapa sih, situasinya harus begini. Misalnya, seharusnya kita jalan kaki dari kemarin, tapi mereka bilang bahwa mereka telah mengirim surat ke alamatmu. Eh, sekarang, katanya dua hari lagi, ternyata besok,”. Leon terdiam, diam sekali. Yuki menatap Leon lalu ia menyadari perubahan air muka Leon.
“Aku tahu,” kata Yuki. “Kita akan meninggalkan mereka kan?”.
“Ya,” suara Leon terdengar pelan sekali.
“Tenang ... Kita bisa mengunjungi mereka sekali waktu. Untuk besok, berikan saja mereka sesuatu. Aku…juga sama sepertimu. Aku akan merindukan Kenzo, Rena, dan semuanya,” jawab Yuki. Kini, muka Leon terlihat lebih baik. Ia mengangguk lalu berkata, “Baiklah,”.
Sesuatu terjadi. Sedetik kemudian, gelap menyelimuti panti. Mati lampu. “Geez,” Yuki berdiri. Ia meraba dinding ruangan, mencari pintu. Setelah itu, ia membuka pintu namun di luar gelap juga. Sigh. Yuki teringat akan senter yang ada di dapur. Ia dan Leon pun berjalan menuju dapur walaupun sulit sekali karena semua tidak dapat terlihat jelas. Perlahan, ada seberkas cahaya. Cahaya lilin. Leon dan Yuki mendekatinya.
Kaki Yuki gemetar. Langkahnya terhenti sejenak. Pertama, Yuki tidak suka hal berbau mistis. Kedua, ia tidak punya keberanian yang cukup untuk itu. Ketiga, ia tidak yakin apa yang dilihatnya itu. Yuki menutup mata rapat-rapat.
Leon menggenggam tangan Yuki. “Itu…bukan apa-apa,” kata Leon. Sepertinya Yuki butuh waktu lama untuk mencerna kata-kata Leon. Tapi ternyata tidak juga. Lampu kembali menyala.
“K-kak Sheila?!” Yuki memastikan apa yang dilihatnya kini benar. Sheila menoleh. “Kalian belum tidur?”.
Yuki menggeleng. Rasanya, ia ingin segera pergi tidur secepatnya. “Ya…kalau begitu, aku tidur dulu ya, kak,”. Ia segera berlari ke atas. Menuju alas tidurnya dan langsung merebahkan dirinya.
***
“Aku adalah rivalmu, Leon,”
“Rival?”
Ia menebaskan pedangnya ke arah Leon. Leon menghindar. Ia tidak mungkin melawan perempuan. “Siapa kau sebenarnya?”. Leon berusaha menghindar namun tebasan pedang membuatnya terjatuh. Perlahan ia membuka matanya. Seorang perempuan lain.
“Ia yang didekatmu, ia yang selalu ceria dan bersemangat. Percayalah padanya,” kata perempuan itu sambil pergi. Sebagai gantinya, sebuah tangan terulur padanya. “Kau adalah rivalku. Bangunlah,”
“Siapa kau?” tanya Leon.
“Apa itu penting?” tanyanya balik.
“Menurutku iya,”
“Aku adalah rivalmu. Sudah jelas,” jawabnya.
“Apa maksudmu dengan ‘rival’? Kita baru bertemu dan kau telah mengatakan itu,”
“Memang benar begitu, bukan?” Ia menyarungkan pedangnya. “Pulanglah,” katanya lagi.
***
Pagi itu, Yuki mengemas barangnya. Lalu membawanya ke bawah. Ini masih jam enam pagi, kata Sheila, mereka harus menunggu karena ia belum tahu pasti kapan mereka dijemput.
“Lei, mukamu kusut. Padahal, kita mau ngajak anak-anak jalan,” tegur Yuki. “Ada apa? Gak sanggup melepas …,”
“Bukan,” potong Leon. “Tadi malam, aku memimpikan sesuatu. Itu saja,”.
“Yah, cuma mimpi,”.
Kenzo berlari ke arah Leon. Ia melirik tas dan bawaan Leon.
“Kak Leon mau kemana?” tanyanya.
“Kakak mau pulang,” jawab Leon.
“Pulang?” Kenzo menatap Leon penasaran. Leon mengelus kepala Kenzo. “Iya, Ken,”. Kenzo memegang tas ransel Leon. Leon mengambil sesuatu dari tasnya. Pulpen. Tapi bukan pulpen biasa. Ada senter kecil di tutup pulpennya. Ia menyodorkannya pada Kenzo.
“Buat Kenzo,” kata Leon. Kenzo menggenggam benda sepanjang 15 cm itu.
“Kak Leon, kakak akan balik lagi kan?” tanya Leon penuh harap. Leon mengangguk.
Sementara itu, Yuki yang tengah sarapan, juga bicara dengan Rena. “Rena, jangan bikin susah Kak Sheila ya,”
“Kak Yuki mau pulang?” tanya Rena.
“Iya,” jawab Yuki singkat. “Nih buat Rena,”. Yuki memberikan pembatas buku. Yah, semua itu adalah yang terbaik dari tas mereka. Ini semua kan berawal dari camping. Sehingga, kemungkinan untuk membawa barang-barang yang tidak berkaitan dengan camping sangat minim.
Sekitar setengah jam kemudian, terdengar suara deru mobil di luar.
“Pak Sais!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar