Kamis, 27 Mei 2010

Bab 1

Leon mendesah. “Mam, jangan ganti channel-nya. Aku masih nonton,”. Leon tidak digubris mama yang sekarang sibuk menonton acara favoritnya.
“Leon, kamu kan udah nonton dari tadi. Gantian, sekarang shift-nya mama,” ujar mama santai. Leon memilih untuk mengalah. Berdebat dengan mama, tidaklah menyenangkan. Ia punya seribu gudang alasan dan kata-kata yang dapat membuatmu kalah berdebat.
“Lebih baik, kamu belajar, Le. Biar makin pintar, biar bisa ngalahin sainganmu itu,” kata mama lagi. Leon terdiam di tempatnya. Ia sedang tidak punya mood untuk belajar.
Mama sangat senang menonton acara “Rising Sun”. Jadi, didalam acara itu, seorang reporter akan menemani seorang warga miskin yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dan, di akhir acara, si reporter akan memberi sumbangan dalam bentuk kebutuhan sehari-hari dan lain-lain. Mama sering nonton acara itu. Bahkan ia sering menitikkan air mata terharu ketika menyaksikan, betapa besar pengorbanan orang-orang yang ada di luar sana untuk bertahan hidup. Kali ini, Leon memilih untuk menonton itu. Dibandingkan hanya duduk dan melamun.
***

Keesokan harinya, di sekolah, Miss Chelia mengumumkan sesuatu. Kegiatan penting bulan ini. Camping untuk kelas 9.
“Ini kegiatan wajib dan kata Sir Adam, camping ini juga untuk ambil nilai IPA,” tutur Miss Chelia sambil membagikan lembaran yang berisi pemberitahuan. “Kasih lembaran itu ke orang tua kalian, ya. Jangan lupa,” Miss Chelia kembali mengingatkan. Leon segera memasukkan kertas tersebut ke dalam tasnya.
Hari itu ada pelajaran olahraga tepatnya bola basket. Jadi hari ini adalah hari yang menyenangkan untuk Leon yang sudah menganggap permainan basket adalah belahan jiwanya. Karena itu, ia berlatih sehingga sekarang ia bisa menge-shoot dari tengah lapangan dan passing dengan sempurna. Senyum Miss Henna, sang guru olahraga mengembang. Angka 9 tertulis di sebelah nama Leon.
“Nice play, Le,” kata Xander.
“Thanks,” sahut Leon.
Kini, giliran anak perempuan yang main. Yuki yang tidak terlalu mahir dalam bermain basket, memasuki lapangan dengan kepala tertunduk. Basket adalah salah satu titik lemah Yuki. Namun, Yuki tidak mudah putus asa dan ia berjuang untuk bisa basket. Mulai dari meminta kakak laki-lakinya, Yuuya, untuk mengajarkannya sampai les basket. Tidak sampai 1 bulan, ia berhenti karena menurutnya les basketnya tidak lagi menyenangkan.
Seorang bernama Sonna berjalan dengan angkuh ke arah teman-temannya yang sudah berada di lapangan. Dari kelas 7, perasaan iri kepada Yuki telah tertanam di dalam tanah hatinya. Ia akan melakukan apa saja supaya gelar perfect girl lepas dari tangan Yuki. Kali ini, sebagai tim lawan, ia mempunyai rencana yang cukup matang untuk Yuki.
Miss Henna melakukan jump ball. Bola dengan cepat berpindah ke tangan Aya. Aya men-dribble bola namun, ia dihadang tim lawan. Bola pun melayang ke arah Sasha. Sasha dengan sigap menangkap dan membawa bola. Kembali, ia dihadang. Yuki menjadi target lemparan Sasha. Kini Yuki memegang bola. Ia mencoba melakukan shoot dan…Masuk ! 1-0..untuk tim Yuki.
“Yuki…Keren banget…” puji Sasha.
“Makasih…” Yuki tersenyum. Jarang sekali bola basket bisa masuk ke dalam ring bila dilempar Yuki. Namun kali ini, Yuki berhasil.
Permainan berjalan kembali. Misha mengoper bola ke Anna, namun Aya dapat menebak alur bola itu dan Aya langsung merebut bola dan meluncurkannya ke arah Yuki. Timbul pikiran licik Sonna. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang baik untuk mencelakai Yuki. Dengan sengaja, ia meletakkan kaki tepat di jalur lari Yuki. (Aku yakin kau tahu apa yang akan terjadi kemudian). BRUUK ! Yuki terjerembab di lapangan. Sontak semua menoleh ke arah Yuki yang kini penuh dengan luka. Kakinya memar dan berdarah, tangannya lecet. Priiit ! suara peluit berbunyi nyaring.
“Tim Sonna—Foul !” seru Miss Henna. Sonna menahan tawanya. Ia terlihat puas sekali melihat Yuki. Ia sengaja memasang tampang menyesal dan bersalah. Yuki mengendalikan diri untuk tidak mengeluarkan air mata. Ia cuma meringis dan kini ia berusaha berdiri.
“Siapa disini ikut tim UKS ?” tanya Miss Henna.
“Le,..” panggil Xander. “Miss Henna memanggilmu,”. Leon yang sedari tadi melamun, kini tersadar. Leon segera menghampiri sang guru olahraga.
“Ada yang perlu saya bantu, Miss?”
“Le, bantu Yuki. Bawa dia ke UKS segera,” Leon mengangguk. Pandangannya kini tertuju pada Yuki. Yuki melihat sebuah tangan terulur padanya. Tangan seorang ketua kelas yang siap membantu. Yuki menengadah.
“Perlu kubantu?” tanya Leon. Yuki mencoba berdiri seraya menahan sakit. “Mmm..Mungkin,” kata Yuki serak. Yuki bisa berdiri, namun jalannya yang terpincang-pincang, tidak memungkinkan dia ke UKS sendirian. Karena itu, Leon memapahnya menuju UKS.
Di UKS, Yuki duduk di tempat tidur UKS. Ruangannya nyaman dan sejuk. Leon membuka lemari kaca yang terletak di sudut ruangan. Lemari yang berisi berbagai macam obat yang mampu menyembuhkan penyakit. Ia mengambil alkohol, obat merah, kapas, kassa, dan band aid. “Berikan tanganmu,”
Yuki mengulurkan tangannya. Leon membersihkan semua luka Yuki. Lalu, dengan hati-hati,ia memberikan obat merah serta band aid. “Bisakah kau ceritakan bagaimana kau bisa jatuh,” kata Leon. Yuki mengangkat bahunya.
“Mmm…Apa kau tidak melihatnya tadi? Well, aku berlari, lalu aku terjatuh,” jawab Yuki. Leon melanjutkan pekerjaannya lagi.
“Terima kasih,” kata Yuki. Leon segera mengajak Yuki keluar dari ruangan UKS. Mereka keluar dan kembali ke lapangan. Miss Henna menanyakan keadaan Yuki.
“Yuki, gimana..udah baikan?”
“Udah, Miss,”
“Hah, kita nonton teman-temanmu main basket aja ya, Yuki,” ujar Miss Henna pelan. Miss Henna dan Yuki duduk di tepi lapangan.
“Leooon...,”panggil Xander. Muka Xander kelihatan lesu. “Ini final. Tapi kita masih kurang 6 angka untuk menyamakan kedudukan”. Xander dan temannya, Rezie menarik lengan Leon lalu mereka menyodorkan bola pada Leon. "15 menit memang waktu yang sedikit. Tapi, kita yakin kok. Kalo ada kamu, kita pasti bisa. Tim kita bergantung sama kamu,".
Leon menghela nafas sejenak. Sedetik kemudian, ia mengoper bola ke Xander. Pelan. Xander menerimanya lalu men-dribble bolanya. 3 orang menghadangnya dan ia langsung mengoper ke Rezie. Rezie mengoper ke Leon. Leon menerima bola itu. Ia mencoba memasukkan bola ke ring. Leon mengharapkan 3 poin untuk lemparan ini. Harapannya menjadi kenyataan. Blasst! Masuk. Xander menepuk pundak Leon. “You’ve made it, Leon,”.
Menit-menit terakhir, Xander dan Leon memasukkan bola. Kemenangan pun berpihak pada tim Leon. Xander menunjukkan mukanya yang ceria sekali. Leon cuma tersenyum memandang kawan-kawannya menyerukan kata, “Yes!” di tengah lapangan.
Teng teng teng…Bel pergantian pelajaran bernyanyi dengan nyaring. Semua anak kelas 9-3 pun segera mengganti baju dan kembali ke kelas mereka.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar