Senin, 31 Mei 2010

Bab 4

Mata Yuki masih lengket. Rasanya ingin tidur terus. Namun, sepertinya, ini bukan saat yang tepat untuk tidur lagi karena sekarang sudah jam 1 siang. “Haaa…Sekarang udah jam 1?” seru Yuki sambil membuka tendanya. Leon belum kelihatan juga. “Leon, kamu udah bangun?” tanya Yuki. Tidak ada jawaban. Tadinya, Yuki berniat membangunkan Leon supaya meneruskan perjalanan. Tapi, sepertinya Leon masih lelah. Jadi, Yuki membatalkan niatnya. Yuki memakan bekalnya. Perutnya yang kosong kini mulai terisi. Tak lama kemudian, Leon keluar dari tendanya. “Udah makan ya?” tanya Leon. “Udah dong. Ayo, Le. Kita lanjutkan perjalanan lagi,” kata Yuki.
“Ok, tapi tujuan kita kemana, Kapten Yuki?” tanya Leon.
“Ke sana,” Yuki menunjuk jalan yang menurutnya benar. Mereka pun berjalan dengan satu harapan yaitu pulang. Surya menyinari bumi dengan terik. Namun, di pegunungan, suhunya nyaman sekali. Jalan setapak yang mereka lalui seolah tidak ada ujungnya.
“Hauh…Sudah berapa lama kita berjalan? Kayaknya udah 10 kilometer ya?” Yuki mengusap peluhnya.
“Gak tau deh. Mau istirahat dulu, gak?” tanya Leon. Yuki segera berkata, ”Iya”. Mereka duduk kembali. Leon melakukan yang namanya makan siang walaupun sebenarnya terlambat. Yuki hanya duduk. Perjalanan mereka lanjutkan kembali ketika Leon sudah selesai makan. Mereka kembali menelusuri jalan setapak yang mereka tempuh.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah pertigaan. Mereka memilih untuk berjalan ke kanan. Kali ini, jalanannya luas, mungkin muat untuk satu truk besar. Bukan jalan setapak lagi. Tak lama kemudian, sampailah mereka di sebuah pemukiman atau lebih tepatnya desa. Intinya, mereka sudah keluar dari hutan. Seorang nenek-nenek yang tengah membawa hasil pertaniannya, melihat ke arah mereka. Tampaknya bawaan si nenek berat sekali. Jadi, Leon berencana untuk membantu. “Nek, perlu saya bantu?” tanya Leon ramah. “Siapa kamu..? Nenek sepertinya belum kenal…,” jawab nenek dengan pelan. “Saya orang baru di sini, Nek,” jawab Leon, asal. Yuki hanya memperhatikan tingkah Leon. Nenek tersebut segera menurunkan hasil pertanian miliknya. Ia menyodorkan sekeranjang daun teh pada Leon. “Rumah nenek di sana,” nenek menunjuk sebuah pondok. “Terima kasih, sudah mau membantu,” kata nenek lagi. Leon menjalankan tugasnya. Yuki mengikuti dari belakang.
“Ngapain sih, kamu?” tanya Yuki heran. Leon menjawab, ”Bantuin orang,”. Yuki terdiam sesaat namun ia segera menyadari maksud Leon.
Sesampainya di pondok milik nenek, si nenek mengucapkan terima kasih lagi dan menanyakan dimana mereka tinggal. Giliran Leon yang memutar otak karena bingung harus bilang apa. Mereka kan…sebenernya bukan orang baru.
“Kami sebenernya…dari kota, nek” kata Yuki nekat. “I..Iya , nek. Kami dari kota. Tapi, di sini, kami belum dapat tempat tinggal, nek,” kata Leon (yang juga asal). Nenek menggumam. “Mmm… Kalian…,” Nenek terdiam sejenak. “Rumahku sempit. Tapi, aku akan membawa kalian ke tempat yang lebih baik,”
Leon menggeleng. “Gak usah, Nek,”. Tapi si nenek mendesak mereka. Nenek yang bernama Hellen ini mengajak mereka ke suatu tempat yang katanya bisa menjadi tempat tinggal sementara.
“Kamu sih…Ada-ada aja. Kapan kita bisa pulang kalo begini caranya?! “ protes Yuki. “Ya…Aku kan gak tau kalo begini jadinya,” kata Leon pelan. Setelah berjalan beberapa saat, kini sebuah bangunan tampak di depan mereka. Sederhana namun lebih baik dari rumah Hellen. Panti Asuhan. “Nenek tau kalian bukan anak yatim piatu. Tapi, ini adalah tempat paling tepat untuk kalian. Karena, sebagian besar desa ini, hanya memiliki rumah yang kecil,” ujarnya. Ia mengetuk pintu dan munculah seorang wanita yang kira-kira umurnya masih 30 tahun.
“Ada apa, nek?” tanya wanita itu ramah. “Mmm.. Ini, saya menemukan 2 orang ini di jalan. Mereka dari kota, tapi belum dapat tempat tinggal di sini,” jawab Hellen. “Tolong beri mereka tempat untuk beristirahat,”. Hellen berlalu begitu saja.
“Silahkan masuk,” kata wanita itu. Namanya Sheila, seorang pengurus panti asuhan yang baik dan perhatian terhadap anak asuhnya. “Kita memiliki 8 anak asuh. Sedikit ya? Eh, mari aku tunjukkan kamar kalian,”. Leon dan Yuki berjalan mengikuti Sheila menuju lantai 2. Di lantai 2, terdapat 4 buah ruangan. 2 kamar berukuran 1x2.5 meter, yang akan menjadi kamar mereka serta ruangan Sheila dan asistennya. “Aku masih agak sibuk. Jadi…,” ucapan Sheila terpotong. Sebagai gantinya, terdengar suara teriakan anak kecil. “Liu Mei…Jangan nangis…Kakak ke sana ya. Ka, bantuin 2 orang ini, ya…” Sheila langsung ke tempat Liu Mei. Sementara itu, seseorang bernama Raka hadir.
“Namaku Raka. Siapa nama kalian?” tanya Raka. “Aku Yuki. Dia Leon,” jawab Yuki singkat. “Ok. Sekarang, kamu masukkan barang-barangmu ke kamar. Kita makan bareng-bareng di bawah. Cepat ya. Nanti kehabisan loh…,” kata Raka.
Kamar mereka hanya memiliki sehelai kasur bukan tempat tidur seperti yang dimiliki mereka di rumah, sebuah meja dan jendela di sudut ruangan. Mereka menaruh barang-barang di situ, lalu pergi ke ruang makan.
Di ruang makan, telah duduk 8 orang anak yang masih berusia sekitar 6-7 tahun. Kak Raka memanggil Leon dan Yuki. “Sini… Kita makan bersama,”. Selesai berdoa, semua melahap makanannya. Makanannya tidaklah mewah, hanya nasi, tempe, tahu, dan sup ayam. Namun, mereka tetap menghargai itu. “Hari ini, kita kedatangan tamu, teman-teman,” kata Raka. “Siapa, kaaak?” tanya seorang anak. “Ini,” Raka mengenalkan Leon dan Yuki pada semuanya. Mereka terlihat lucu sekali seolah-olah Yuki dan Leon akan menetap di situ dalam interval waktu yang lama.
Setelah mencuci piring masing-masing, anak-anak langsung menghambur. Ada yang bermain, ada yang ke kamarnya. Leon memilih untuk naik ke kamarnya. Ia ingin merenung dan merencanakan bagaimana caranya pulang. Di tangga, ia melihat seorang anak berusaha meraih pijakan tangga dengan kakinya. Anak tangganya memang sedikit tinggi. Leon tadinya ingin membantu anak yang kesulitan tersebut. Namun, anak tersebut, tiba-tiba jatuh di anak tangga kelima. Kontan, ia menangis. Leon segera menghampiri anak tersebut. “Sakiiit… Kakiku sakiiit,” rintih anak tersebut pelan. Heran, tidak ada orang saat itu.
Leon berlari mengambil kotak P3K di kamarnya lalu mengobati anak tersebut. “Makasih, kak…” ucap anak itu. Ia masih kesulitan berjalan, karena itu Leon memapahnya. “Namamu siapa?” tanya Leon.
“Kenzo,” jawabnya singkat. Sampai di lantai 2, Kenzo menuju ruangan Sheila. “Kak Sheila, aku boleh ke sungai, gak?”.
“Boleh dong, Kenzo. Ajak kak Yuki sama kak Leon juga ya…,”. “Yang baru itu ya, Kak?” tanya Kenzo. Sheila mengangguk. Kenzo keluar dan didapatinya Leon menunggu di depan ruangan. “Kak, ayo kita ke sungai. Ajak kak Yuki juga ya…,”
***

1 komentar: